Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perlawanan Rakyat Indramayu terhadap Jepang

Perlawanan rakyat Indramayu disebabkan oleh adanya kewajiban untuk menyetorkan hasil penanaman padi kepada Jepang.

Di bawah pimpinan para tokoh, rakyat Indramayu melakukan perlawanan terhadap Jepang secara besar-besaran, hingga ke pelosok-pelosok desa.

Latar belakang

Pada 1942, Jepang mendarat di Indonesia dan ingin berkuasa karena mengincar kekayaan sumber-sumber bahan mentah, terutama minyak bumi, yang dimanfaatkan untuk kepentingan perangnya.

Jepang pun berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda pada Maret 1942. Daerah Indramayu juga tidak luput dari perhatian mereka.

Pada 3 Maret 1942, Jepang mendarat di Eretan, Indramayu, tepatnya di Kampung Sumur Sereh.

Pada saat itu, para serdadu Jepang yang umumnya berpangkat jenderal datang ke sebuah pendopo yang ada di Indramayu.

Mereka pun menuntut penduduk setempat memberi hormat. Siapa pun yang menolak, maka akan dipukul atau diteriaki bagero yang berarti bodoh.

Sejak saat itu, rakyat menjadi sangat murka terhadap Jepang. Kemarahan mereka memuncak saat penduduk Indramayu yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani diwajibkan untuk menyerahkan hasil panen padi.

Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemberontakan petani di Indramayu terhadap Jepang.

Jalannya perlawanan

Perlawanan rakyat Indramayu diprakarsai oleh petani dan dipimpin oleh para ulama.

Beberapa tokoh Indramayu dalam perlawanan rakyat terhadap Jepang adalah Haji Madriyas, Haji Kartiwa, dan Kyai Srengseng.

Pada Maret 1944, petani yang ada di Desa Kaplongan melancarkan protes karena masalah kewajiban serah padi.

Tentara Jepang yang ada di Cirebon setelah mendengar masalah itu segera datang dengan membawa satu kompi truk melalui Desa Kedungbunder.

Setelah itu, ditambah lagi satu truk polisi berisi senjata lengkap menuju ke Desa Kaplongan.

Sebelumnya, para petani di Desa Kaplongan sudah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, sehingga begitu pasukan Jepang datang mereka sudah siap.

Para petani sudah mempersenjatai diri dengan aneka senjata, seperti bambu runcing, golok, tombak, dan keris.

Pertempuran pun terjadi yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak.

Dari Desa Kaplongan sendiri ada empat orang yang meninggal karena ditembak tentara Jepang, yakni Abu Hasan, Tobur, Abdul Kadir, dan Khozin.

Adanya aksi protes dari rakyat Indramayu di Desa Kaplongan mengobarkan semangat perlawanan juga di desa-desa lain, seperti di Desa Cidempet.

Pada 6 Mei 1944, pemberontakan pun meletus di Cidempet, dengan sebab perlawanan yang sama.

Tokoh-tokoh yang memelopori protes sosial di Desa Cidempet sendiri adalah Haji Madriyas, Haji Dulkarim, Sura, Karsina, Sliyeg, dan Tasiah.

Mereka lah yag memimpin ratusan hingga ribuan rakyat dari desa-desa di Kecamatan Lohbener, Sindang, dan Losarang untuk melawan Jepang.

Akhir perlawanan rakyat Indramayu

Setelah pecah pertempuran di Desa Cidempet yang merembet hingga ke daerah-daerah lainnya, tidak lagi terlihat aparat pemerintah Jepang, baik sipil maupun militer, datang ke sana.

Pihak Jepang memilih mengirimkan Haji Abdullah Fakih untuk bernegosiasi dengan rakyat Indramayu.

Namun, Haji Abdullah ternyata hanya bagian taktik Jepang untuk bisa menangkap para pemimpin Indramayu.

Akibat strategi itu, banyak pemimpin yang berhasil ditangkap dan ditahan di sel tahanan pendopo Indramayu.

Belum berhenti di situ, Jepang melanjutkan siasat mereka dengan menyebarkan pamflet ke daerah-daerah.

Isi pamflet tersebut adalah rakyat Indramayu diminta untuk menyerahkan diri ke pendopo dan tidak perlu khawatir karena semua akan dijaga dan dilindungi.

Rakyat yang tidak curiga pun mulai berdatangan ke pendopo. Perlawanan dari rakyat Indramayu terhadap Jepang berakhir karena banyaknya para kiai dan ulama desa yang ditangkap.

Selain itu, peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat Jepang angkat kaki dari Indramayu.

Dampak

Pemberontakan petani Indramayu yang berakhir pada bentrok fisik membuat korban jiwa berjatuhan.

Banyak tentara Jepang yang tewas, begitu pula dengan para petani dan ulama yang gugur atau dipenjara oleh Jepang.

Kendati demikian, pasca-perlawanan berlangsung, rakyat Indramayu justru semakin giat bekerja karena hasil panen tidak lagi disetor kepada Jepang, yang telah angkat kaki dari Indonesia.

Referensi: 

  • Iryana, Wahyu. (2017). Momi Kyoosyutu: Roman Sejarah. Jakarta: Kakilangit Kencana.
  • Iryana, Wahyu. (2016). Protes Sosial Petani Indramayu Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Konsentrasi Ilmu Sejarah FIB Unpad. Vol. 8. No. 3 September 2016. 285-300.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/28/080000679/perlawanan-rakyat-indramayu-terhadap-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke