Kesepakatan Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Kesepakatan ini membuka perdamaian atas konflik GAM selama puluhan tahun.
Latar Belakang
Gerakan Aceh Merdeka adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan agar Aceh dapat terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keinginan GAM ini berkebalikan dari apa yang diinginkan oleh pemerintah RI. Oleh karena itu, konflik antara GAM dan pemerintah RI pun berlangsung sejak tahun 1976.
GAM sendiri dipimpin oleh Hasan di Tiro. Selama hampir tiga dekade ia memimpin gerakan ini dari Swedia.
Pada 4 Desember 1976, Hasan mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI yang dilakukan di kawasan Kabupaten Pidie.
Perlawanan bersenjata ini pun mendapat sambutan keras dari pemerintah RI.
Pemerintah pusat RI kemudian menggelar sebuah operasi militer di Aceh yang bernama Daerah Operasi Militer (DOM) pada akhir 1980-an.
Sejak saat itu pemberontakan semakin pecah dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Guna mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah mengajak mereka untuk berunding dalam Perjanjian Helsinki pada tahun 2005.
Dari perjanjian tersebutlah muncul kesepakatan otonomi khusus di Aceh antara pemerinth Indonesia dengan GAM untuk mencapai perdamaian.
Melalui Kesepakatan Helsinki GAM setuju meletakkan senjata dan memberhentikan tuntutannya untuk melepas Aceh dari Indonesia.
Hasil kesepakatan ini dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Isi Kesepakatan
Kesepakatan Helsinki terdiri dari enam bagian, yaitu:
Dalam Kesepakatan Helsinki sendiri terdapat 71 butir, di antaranya yaitu:
Proses Kesepakatan
Kesepakatan Helsinki tercapai melewati perundingan yang berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005.
Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut dihadiri oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja.
Kemudian dari pihak GAM adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.
Pelaksanaan
Setelah selama 14 tahun Kesepakatan Helsinki berjalan, belum keseluruhan pasal di dalamnya dapat terlaksana.
Di antaranya, poin 14.5 yang menyatakan semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili dalam pengadilan sipil di Aceh.
Selain itu, Malik Mahmud, Wali Nanggroe Aceh Darussalam juga mengatakan bahwa masih ada satu poin yang belum dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Poin tersebut adalah terkait lambang dan bendera Aceh.
Selain itu pihak GAM juga masih mempertanyakan terkait pembagian tanah kepada pemerintah pusat RI.
Pihak GAM berharap agar butir-butir yang masih belum tercapai tersebut dapat segera terselesaikan semuanya.
Kondisi Terkini
Sejak Kesepakatan Helsinki terlaksana, 15 Agustus 2005, Wali Nanggroe Aceh Darussalam, Malik Mahmud, masih berharap agar pemerintah pusat segera menuntaskan semua butir perjanjian yang ada di dalam kesepakatan tersebut.
Malik Mahmud menegaskan bahwa saat ini salah satu butir yang masih belum juga terlaksana adalah terkait lambang serta bendera Aceh.
Hal ini juga memicu para mahasiswa melakukan demonstrasi. Mereka menuntut kepastian Kesepakatan Helsinki terkait masalah bendera itu.
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/29/120000279/kesepakatan-helsinki-latar-belakang-isi-proses-dan-pelaksanaan