Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi

Setelah pendudukan Inggris (1811-1816), Belanda khawatir Indonesia jatuh ke tangan bangsa Eropa lainnya.

Oleh karena itu, Belanda berupaya menyatukan kekuasaan di daerah Sulawesi Selatan.

Namun, Kerajaan Bone tidak mengakui kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan.

Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab terjadinya Perang Bone, sebuah ekspedisi balasan oleh Belanda ke Kerajaan Bone.

Untuk menaklukkan Bone, Belanda harus melakukan tiga kali peperangan.

Berikut ini latar belakang serta kronologi Perang Bone I, II, dan III yang berlangsung antara 1824 hingga 1860.

Latar Belakang Perang Bone

Pada 1824, Gubernur Jenderal van der Capellen berangkat ke Makassar untuk memperbarui Perjanjian Bongaya.

Menurut van der Capellen, perjanjian itu tidak sesuai dengan sistem pemerintahan imperialismenya.

Akan tetapi, Kerajaan Bone menentang pembaruan Perjanjian Bongaya dengan tidak menghadiri pertemuan.

Sikap ini mengisyaratkan bahwa Bone tidak mengakui kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan.

Usaha Bone untuk memengaruhi raja-raja yang lain untuk menentang kehadiran Belanda menjadi salah satu sebab timbulnya peperangan antara Bone dan pemerintah Hindia Belanda.

Perang Bone I

Melihat situasi di Sulawesi Selatan, van der Capellen kembali ke Batavia dan menyiapkan ekspedisi untuk menghukum Bone.

Pada 15 Juli 1824, pasukan yang dipimpin oleh letnan kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers tiba di Tanete.

Ekspedisi ini terdiri dari ratusan tentara dengan meriam.

Perang ini dianggap tidak berhasil karena Bone dapat menghancurkan beberapa pos pertahanan Belanda di Pangkajene, Maros, dan Tanete.

Serangan Bone ini sempat menggelisahkan pemerintah Belanda di Makassar.

Oleh karena itu, dikirimlah bala bantuan dari Batavia hingga daerah-daerah tersebut Bone dapat direbut kembali.

Perang Bone II

Pada Perang Bone II yang berlangsung antara 1825-1835, Belanda melakukan tindakan-tindakan brutal.

Jenderal Jozef van Geen melancarkan ekspedisi yang terdiri dari 4.000 orang dengan tujuh kapal perang dan tiga perahu meriam.

Perkampungan yang berada di Sinjai dibakar habis dan pasukan Belanda berhasil masuk ibu kota Bone.

Namun, Belanda gagal merebut pemerintahan karena raja dan pembesar-pembesar kerajaan telah meninggalkan ibu kota untuk mengungsi ke pedalaman.

Perang Bone II baru berakhir setelah raja menandatangani gencatan senjata yang kemudian disusul dengan perjanjian perdamaian.

Perang Bone III

Setelah Perang Bone II, Belanda masih terus merongrong hak dan kekuasaan raja Bone yang dianggapnya sebagai lawan yang membahayakan.

Di pihak lain, rakyat Bone berjuang untuk merebut kembali wilayah kerajaan yang dicaplok oleh Belanda.

Kedua hal ini dianggap sebagai penyebab terjadinya Perang Bone III pada 1859.

Tokoh Perang Bone III adalah Letnan Jenderal Jan van Swieten, yang pertama kali mendarat di Makassar pada November 1859.

Perang ketiga ini sangat dahsyat dan Belanda harus melakukan dua kali agresi militer.

Agresi pertama dapat dianggap gagal karena banyak serdadu Belanda yang tewas dan terpaksa menarik diri ke Makassar.

Namun, pada agresi kedua, Belanda berhasil memaksa Bone bertekuk lutut pada 1860.

Akhirnya, hanya sebagian kecil dari wilayah kekuasaan Bone terdahulu dipinjamkan kepada raja untuk diperintah, sementara wilayah lain yang sangat luas langsung berada di bawah kekuasaan gubernur Belanda.

Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri, yang berkuasa antara 1895-1905, melakukan perlawanan terakhir terhadap Belanda.

Namun, La Pawawoi Karaeng Sigeri menyerah pada 1905 dan sejak saat itu Bone secara resmi berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

Referensi:

https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/29/130000979/perang-bone-latar-belakang-dan-kronologi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke