Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Supeno: Kehidupan, Karier Politik, dan Akhir Hidup

Supeno tewas saat sedang melakukan gerilya melawan Belanda. Atas jasanya ia dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan

Supeno lahir di Pekalongan, Jawa tengah, pada 12 Juni 1916. 

Ia merupakan anak dari Soemarno, seorang pegawai rendah di perusahaan kereta api milik pemerintah Belanda di Stasiun Tegal. 

Setelah Supeno lulus dari Sekolah Menengah Atas di Algemeene Middelbare School (AMS) Semarang, ia lanjut ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. 

Di sekolah ini Supeno hanya menuntut ilmu selama dua tahun. 

Ia pindah ke Sekolah Tinggi Hukum di Batavia dan menempuh pendidikan selama empat tahun di sana.

Setelah berpindah ke Batavia, Supeno semakin tertarik untuk ambil bagian dalam era pergerakan nasional.

Supeno bergabung dengan Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Ia terpilih menjadi ketua. 

Pada 1941, Supeno juga menjadi pemimpin Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia.

Organisasi

Selama di Jakarta, Supeno tinggal di Asrama PPPI di Jalan Cikini Raya 171. Di asrama tersebut Supeno menjadi ketua.

Supeno juga sempat tergabung menjadi anggota dari Indonesia Moeda, organisasi pemuda Indonesia. 

Supeno tidak hanya terlibat dalam Indonesia Moeda di Pekalongan dan Tegal, melainkan juga di Semarang dan Bandung. 

Ia juga sempat mendirikan dan diangkat sebagai Ketua Balai Pemuda di Solo. 

Istrinya, Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno menyebutkan, pada awal kemerdekaan, ia menjadi konseptor sejumlah lembaga negara, seperti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 

Pada akhir tahun 1945, Supeno terpilih sebagai ketua Badan Pekerja KNIP. Pada akhir 1946, terjadi krisis pada masa Kabinet Sjahrir III. 

Krisis ini terjadi karena dianggap menjual negara dengan menyetujui Perundingan Linggarjati.

Partai-partai seperti Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, menganggap bahwa perundingan ini menjadi bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya.

Guna menyelesaikan masalah ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.6/1946, pada 28 Desember 1946. 

Peraturan ini bertujuan untuk menambah anggota KNIP agar pemerintah mendapat dukungan suara untuk perundingan Linggarjati. Yang mulanya berjumlah 200 orang, bertambah menjadi 514 orang.

Pada sidang KNIP, 3 Maret 1947, disusun dan dipilih Badan Pekerja KNIP yang baru. 

Supeno menjadi salah satu anggota perwakilan dari Badan Pekerja KNIP yang menduduki kursi di Partai Sosialis. 

Menjadi Menteri

Pada 1948, Supeno pergi ke Sumatera untuk mengonsolidasi republik di Sumatra. Ia pergi ke Bukittinggi untuk melancarkan Balai Pemuda di Sumatera. 

Kemudian, pada 29 Januari 1948, ia dipanggil kembali ke Jawa.

Supeno pun diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta I. Supeno menjadi menteri paling muda dalam pemerintahan Mohammad Hatta. 

Akhir Hidup

Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerang Indonesia. Serangan ini disebut Agresi Militer Belanda II. 

Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota, berhasil dikuasai oleh Belanda.

Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat pemerintahan pun ditangkap. 

Setelah Yogyakarta jatuh, Supeno yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan pembangunan RI, ikut bergerilya, sehingga ia menjadi target Belanda. 

Namun, Supeno berhasil meloloskan diri karena sedang bertugas di luar Yogyakarta, yaitu di Cepu, Jawa Tengah. 

Saat Supeno sedang menuju ke arah Yogyakarta, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Benar saja, pusat pemerintahan telah diduduki oleh Belanda.

Dari Prambanan, Supeno memutar balik mobilnya menuju Tawangmangu. Di sana, ia bergabung bersama para pejabat lain yang lolos dari penangkapan. 

Setelah berkoordinasi di Tawangmangu, diputuskan bahwa masing-masing pejabat akan bergerilya dan berpindah-pindah lokasi, sampai situasi terkendali.

Beberapa bulan setelah bergerilya, Supeno dan rombongannya berhasil tertangkap di Desa Ganter, Nganjuk, Jawa Timur. 

Saat itu, Belanda sedang menyerbu wilayah Ganter pada 24 Februari 1949. Tentara Belanda pun menyuruhnya jongkok dan mulai menginterogasi.

Supeno pun sempat mengelak. Ia mengatakan bahwa dirinya merupakan penduduk daerah, tetapi Belanda tetap tidak percaya. 

Akhirnya, karena masih terus mengelak, Supeno pun ditembak di bagian pelipisnya. 

Ia tewas seketika. Tubuh Supeno disemayamkan di Nganjuk.

Setahun kemudian, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. 

Penghargaan

Atas jasanya, Supeno pun diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya juga diabadikan menjadi nama jalan di Kota Semarang. 

Patung Supeno pun dibangun di Kompleks Stadion Jatidiri, Semarang. 

Referensi: 

  • Rosihan, Haji Anwar. (1992). Soepeno: Pejuang Politik dan Gerilyawan. Jakarta. 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/28/173532079/supeno-kehidupan-karier-politik-dan-akhir-hidup

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke