Ia menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia pada Kabinet Kerja I, II, dan III.
Sahardjo memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan hukum di Indonesia.
Sebagai tokoh hukum, salah satu hasil buah pemikirannya yang penting adalah Undang-undang Warga Negara Indonesia pada 1947 dan Undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1953.
Sahardjo meninggal di Jakarta pada 13 November 1963.
Kehidupan
Dr. Sahardjo atau Sahardjo lahir di Solo, 26 Juni 1909.
Ia merupakan putra sulung dari Raden Ngabei Sastroprayitno, seorang pegawai dan abdi dalem di Keraton Surakarta.
Berkat kedudukan sang ayah, Sahardjo dapat bersekolah di Europese Lagere School (ELS) atau sekolah dasar berbahasa Belanda. Sahardjo tamat dari ELS pada 1922.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia.
Namun, baru hampir setahun ia bersekolah dokter, Sahardjo merasa tidak sesuai untuk menjadi seorang dokter. Ia tidak tahan melihat darah.
Bahkan, Sahardjo sempat jatuh pingsan saat melihat putranya sedang dikhitan (sunat).
Sadar bahwa ia tidak berbakat menjadi dokter, Sahardjo pun berpindah sekolah ke Algemeene Middelbare School (AMS) atau sekolah menengah menengah umum zaman Hindia Belanda.
Ia tamat dari AMS pada 1927.
Organisasi
Semasa di AMS, Sahardjo telah aktif dalam gerakan PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dengan aktif.
Ia tertarik untuk mengabdikan perjuangannya untuk bangsanya sendiri.
Oleh sebab itu, ia tidak mencari pekerjaan sebagai seorang pegawai negeri, tetapi menggabungkan diri dalam Perguruan Rakyat (PR).
Perguruan Rakyat didirikan oleh kaum pergerakan. Di antaranya orang-orang Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Dr. Moh Nazief SH dan wakil ketua Prof. Sunario SH, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia.
Sahardjo mengajar di bagian POPTI (Persiapan untuk Perguruan Tinggi) dan POP (Perguruan Umum Pendidik atau Sekolah Guru).
Selain mengajar di PR, ia juga dipercaya oleh Partai Indonesia (Partindo) untuk membimbing dan menguji para calon pengurus Partindo di Jawa Barat.
Karier Hukum
Sahardjo memiliki keinginan untuk menjadi seorang Ahli Hukum. Ia pun memilih kuliah di RHS (Rechts Hoge School) atau Sekolah Tinggi Hukum.
Selama bersekolah di RHS, dapat dikatakan proses belajarnya tidak berjalan lancar. Hal ini disebabkan oleh kegiatan lain yang juga dilakukan oleh Sahardjo, yaitu mengajar di PR.
Hambatan lain yang juga dirasakan Sahardjo adalah biaya. Tahun terberatnya adalah pada tahun kedua.
Ia hampir memutuskan sekolahnya, namun akhirnya tidak terjadi berkat bantuan tunangannya, Siti Nuraini.
Setelah tamat dari RHS, Sahardjo segera bekerja di Departemen van Justisi (Kehakiman) pemerintah Hindia Belanda.
Empat tahun kemudian, pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, ia menjadi Wakil Kepala Kantor Kehakiman (Hooki Kyokoyu).
Kantor tersebut dipimpin oleh Prof. Mr. Dr. Supomo. Pada 1946, Sahardjo ikut berpindah ke Yogyakarta bersama pemerintah RI.
Ia memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Hukum dan Tatanegara dalam Kementerian Kehakiman selama 10 tahun.
Selama menduduki jabatan tersebut, Sahardjo telah banyak menghasilkan peraturan maupun undang-undang.
Undang-undang yang ia cetuskan, yaitu:
Peran yang juga tidak kalah penting dari Sahardjo ialah perubahan bagian ke-3 UUD RIS berbunyi, " Bahwa Negara yang berbentuk Republik Kesatuan itu sesungguhnya tidak lain daripada Negara Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan pada 17 Agustus 1945".
Saat ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman periode 1959 sampai 1962, Sahardjo mengusulkan beberapa pemikirannya, yaitu:
Adapun gagasan yang melatarbelakangi penggantian orang terhukum menjadi narapidana adalah:
Kemudian untuk gagasan perubahan lambang hukum didasari dengan pemikiran Sahardjo yang merasa bahwa lambang awal tidak sesuai dengan sifat ketimuran Indonesia.
Akhir Hidup
Kondisi kesehatan Sahardjo mulai menurun karena tekanan darah tinggi yang ia alami.
Sesampainya di rumah, Sahardjo mengatakan kepada istrinya bahwa tugasnya kepada negara sudah selesai.
Kata-kata itu membuktikan bahwa ia telah puas dengan pengabdiannya kepada negara RI lewat keahlian hukumnya.
Seminggu berselang, pada 13 November 1963, Sahardjo wafat akibat pendarahan otak.
Sahardjo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Penghargaan
Sahardho menerima Satya Lencana Kemerdekaan atau gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 245 Tahun 1963, pada 29 November 1963.
Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/12/163908279/sahardjo-kehidupan-pendidikan-karier-hukum-dan-akhir-hidupnya