Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rasyid Ridha
Pengacara

Advokat/pengacara publik YLBHI-LBH Jakarta; mahasiswa Magister Ilmu Hukum konsentrasi Socio-Legal Studies Universitas Indonesia

Ontologi Hukum

Kompas.com - 02/11/2022, 16:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJUMLAH literatur filsafat hukum kebanyakan menuliskan ontologi (hakikat) dari keberadaan hukum adalah keadilan dan keteraturan.

Sisanya, ada yang berbicara mengenai kepastian hukum dan kemanfaatan. Ada juga yang menyamakannya pada posisi deontologis, yakni meletakkannya sebagai suatu etika normatif yang berangkat dari moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan.

Kajian ontologis pada dasarnya berupaya menyingkap keberadaan yang konkret atau inheren serta melekat secara vital dan laten pada sesuatu. Ontologi berangkat dari pertanyaan "apa", untuk sampai bisa menelisik substansi yang terdalam dari sesuatu tersebut.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Kepuasan Publik pada 5 Aspek Penegakan Hukum Terburuk sejak Oktober 2019

Yang perlu digarisbawahi bahwa aturan, moral, hak, kewajiban, kewenangan, sanksi, dan sebagainya dalam hukum pada dasarnya merupakan sesuatu yang berada di level cangkang. Semua itu adalah suatu implikasi terakhir di ranah teks yang berangkat dari cita-cita politik (hukum) tertentu.

Hukum mengandaikan kekacauan

Namun jauh di kedalaman jantung tubuhnya, substansi atau hakikat hukum itu sendiri sebenarnya adalah "kekacauan", dan tentunya ini sama sekali bukanlah "keteraturan" dalam artian umum yang kita kenal.

"Kekacauan" adalah "inti" mengapa hukum hadir. Tanpa kekacauan sebenarnya hukum tidak akan dirumuskan dan dibuat.

Di ranah praktik, hukum tidak akan menerapkan dirinya, karena ia merasa tidak perlu hadir bila situasi tidak kacau.

Maka, kadang-kadang muncul anekdot yang menyatakan bahwa "hukum itu ada untuk dilanggar", karena dengan adanya pelanggaran yang berarti adalah kekacauan, hukum baru dapat dikatakan eksis dan bekerja setelahnya.

Tidaklah lengkap bila membicarakan hukum tetapi tidak membicarakan kekacauan yang telah hadir dan mewujud sebelumnya. Itu laksana yin dan yang, atau satu koin dengan dua sisi yang berbeda. Namun bedanya kekacauanlah sosok ibu kandung sekaligus jantung dari hukum.

Di ranah pembentukan hukum, para legislator ataupun penguasa di suatu negara hukum biasanya menarasikan kekacauan yang telah hadir sebelumnya dalam bentuk naskah akademik rancangan peraturan hukum. Di dalamnya, kekacauan ditelaah dan dianalisis dengan menggunakan justifikasi argumen filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologis.

Hingga akhirnya memunculkan sebuah kesimpulan bahwa aturan hukum penting untuk dirumuskan dan disahkan "demi mengatasi kekacauan" yang telah hadir ataupun kekacauan yang akan datang di kemudian hari.

Dalam konteks keberadaan hukum publik, misalnya, ini sama seperti seseorang yang didakwa dengan Pasal 340 KUHP terkait tindak pidana pembunuhan berencana.

Selain dakwaan-tuntutan-putusan yang hadir belakangan sebagai dokumen sekaligus produk hukum, basis yang digunakan untuk menentukan pasal hukum dan status hukum, berangkat dari kisah mengenai suatu peristiwa pidana yang kacau-balau yang tertuang di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di Kepolisian.

Meski begitu, tampaknya hukum tak sepenuhnya dapat mengatasi kekacauan yang telah hadir di awal, melainkan terkadang justru menjadi awal untuk terjadinya kekacauan beruntun selanjutnya.

Entah karena norma aturannya yang kurang lengkap, normanya yang bersifat diskriminatif, normanya bertentangan dengan norma aturan di atasnya, ataupun normanya membuka peluang bagi penguasa atau kelompok tertentu untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, dan sebagainya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com