Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Eduard Douwes Dekker, Penentang Sistem Tanam Paksa

Kompas.com - 05/02/2021, 14:10 WIB
Serafica Gischa

Penulis

KOMPAS.com - Eduard Douwes Dekker merupakan keturunan Belanda yang memperjuangan keadilan rakyat Indonesia, terlebih pada sistem tanam paksa.

Eduard Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita.

Melalui nama pena tersebut, Multatuli menulis novel sebagai wujud penentangan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap keterlaluan memperlakukan bangsa Indonesia.

Datang ke Indonesia

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), Eduard lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Ayahnya merupakan seorang kapten kapal dan termasuk keluarga yang mapan serta berpendidikan.

Eduard kemudian sekolah di sekolah latin dan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Meski terkenal sebagai murid yang cerdas, Eduard ternyata merasa bosan menempuh pendidikan, hingga akhirnya membuat prestasinya merosot dan dikeluarkan dari sekolah.

Baca juga: Biografi Florence Nightingale, Pelopor Perawat Modern

Eduard dikenal sebagai salah satu penulis terhebat di Belanda dengan ide-ide radikal, meski memiliki gaya yang biasa saja.

Pada tahun 1838, Multatuli pergi ke Hindia Belanda dan bekerja saat Kerajaan Belanda mengalami krisis keunagan dan menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia.

Multatuli bekerja sebagai pegawai sipil hingga akhrinya diangkat sebagai asisten residen dui AMbon pada 1851 dan pada tahun 1857 dipindahkan menjadi asisten residen di Lebak.

Selama menjalani tugasnya di Lebak, Multatuli melihat bagaimana Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan rakyat Indonesia dengan tidak adil, terlebih untuk kemakmuran rakyat.

Multatuli menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan bangsa Belanda di atas penderitaan rakyat jajahan.

Usaha Multatuli untuk melindungi orang Jawa dari bangsanya sendiri ternyata tidak mendapatkan dukungan. AKhirnya dia mengundurkan diri dan kembali ke Eropa.

Baca juga: Biografi Christiaan Eijkman, Penemu Vitamin

Novel Max Havelaar

Dalam buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) karya Taufik Rahzen, sekembalinya ke Eropa, Multatuli kemudian menuliskan bagaimana pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem tanam paksa dan menindas rakyat Jawa.

Catatan tersebut kemudian menjadi sebuah novel berjudul Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda yang terbit pada 1860.

Melalui novel tersebut, Multatuli dikenal secara internasional. Max Havelaar menjadi otiobiografik yang sebagian besar isinya mengungkap eksploitasi Belanda terhadap penduduk asli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Ragam Ngoko dan Ragam Krama

Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Ragam Ngoko dan Ragam Krama

Skola
Makna Simbolik Peralatan Siraman Pengantin Adat Jawa

Makna Simbolik Peralatan Siraman Pengantin Adat Jawa

Skola
Nilai-nilai yang Terkandung dalam Ungkapan Bahasa Jawa

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Ungkapan Bahasa Jawa

Skola
Simbol-simbol dalam Gunungan Wayang Kulit Jawa

Simbol-simbol dalam Gunungan Wayang Kulit Jawa

Skola
Apa Itu Kesenian Ludruk?

Apa Itu Kesenian Ludruk?

Skola
Apa itu Jemblung sebagai Drama Rakyat Jawa?

Apa itu Jemblung sebagai Drama Rakyat Jawa?

Skola
Garapan dan Problematika Kethoprak

Garapan dan Problematika Kethoprak

Skola
Mengenal Ragam Pementasan Kethoprak

Mengenal Ragam Pementasan Kethoprak

Skola
Ukara Sesanti Bahasa Jawa

Ukara Sesanti Bahasa Jawa

Skola
Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

Skola
Aspek Pendidikan dalam Pementasan Drama Jawa

Aspek Pendidikan dalam Pementasan Drama Jawa

Skola
Mencermati Simbol Kehidupan dalam Drama Jawa

Mencermati Simbol Kehidupan dalam Drama Jawa

Skola
Struktur Pertunjukan Ludruk

Struktur Pertunjukan Ludruk

Skola
Mengenal Apa Itu Wayang Wong

Mengenal Apa Itu Wayang Wong

Skola
Passive Voice dalam Future Perfect Tense

Passive Voice dalam Future Perfect Tense

Skola
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com