Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Biografi Eduard Douwes Dekker, Penentang Sistem Tanam Paksa

KOMPAS.com - Eduard Douwes Dekker merupakan keturunan Belanda yang memperjuangan keadilan rakyat Indonesia, terlebih pada sistem tanam paksa.

Eduard Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita.

Melalui nama pena tersebut, Multatuli menulis novel sebagai wujud penentangan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap keterlaluan memperlakukan bangsa Indonesia.

Datang ke Indonesia

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), Eduard lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Ayahnya merupakan seorang kapten kapal dan termasuk keluarga yang mapan serta berpendidikan.

Eduard kemudian sekolah di sekolah latin dan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Meski terkenal sebagai murid yang cerdas, Eduard ternyata merasa bosan menempuh pendidikan, hingga akhirnya membuat prestasinya merosot dan dikeluarkan dari sekolah.

Eduard dikenal sebagai salah satu penulis terhebat di Belanda dengan ide-ide radikal, meski memiliki gaya yang biasa saja.

Pada tahun 1838, Multatuli pergi ke Hindia Belanda dan bekerja saat Kerajaan Belanda mengalami krisis keunagan dan menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia.

Multatuli bekerja sebagai pegawai sipil hingga akhrinya diangkat sebagai asisten residen dui AMbon pada 1851 dan pada tahun 1857 dipindahkan menjadi asisten residen di Lebak.

Selama menjalani tugasnya di Lebak, Multatuli melihat bagaimana Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan rakyat Indonesia dengan tidak adil, terlebih untuk kemakmuran rakyat.

Multatuli menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan bangsa Belanda di atas penderitaan rakyat jajahan.

Usaha Multatuli untuk melindungi orang Jawa dari bangsanya sendiri ternyata tidak mendapatkan dukungan. AKhirnya dia mengundurkan diri dan kembali ke Eropa.

Novel Max Havelaar

Dalam buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) karya Taufik Rahzen, sekembalinya ke Eropa, Multatuli kemudian menuliskan bagaimana pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem tanam paksa dan menindas rakyat Jawa.

Catatan tersebut kemudian menjadi sebuah novel berjudul Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda yang terbit pada 1860.

Melalui novel tersebut, Multatuli dikenal secara internasional. Max Havelaar menjadi otiobiografik yang sebagian besar isinya mengungkap eksploitasi Belanda terhadap penduduk asli.

Dengan novel tersebut, Multatuli bisa membela keadilan di Jawa dan menyindir mentalitas kelas menengah Belanda.

Novel karangannya sekaligus membuka kesusasteraan modern di Belanda.

Penghapusan sistem tanam paksa

Buku karangan Multatuli ternyata sampaui di tangan para aktivis, politis sosialis-demokrat dan liberal di Belanda. Di mana mereka kemudian menuntut perubahan nasib rakyat jajahan.

Hingga akhirnya Gubernur Jenderal Van den Bosch di Hindia Belanda diberhentikan dan sistem tanam paksa di hapuskan.

Tahun 1870, terdapat kebijakan baru untuk negeri jajahan, yaitu pemberian pendidikan di bawah konsep politik etis.

Setelah itu munculkan sekolah-sekolah seperti HIS, ELS, Mulo, AMS, dan lainnya. Dari sekolah-sekolah itulah kemudian muncul pergerakan kemerdekaan.

Multatuli secara tidak langsung membuka pemikiran bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan manapun.

Akhir hayat

Eduard Douwes Dekker menghabiskan masa hidupnya di Jerman bersama seorang anak yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Di Jerman, Eduard banyak menulis naskah drama. Hingga akhirnya meninggal pada 19 Februari 1887.

https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/05/141045269/biografi-eduard-douwes-dekker-penentang-sistem-tanam-paksa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke