Kedua contoh yang kita bahas termasuk komentar yang ada dalam buku fiksi. Namun bukan berarti kita tidak dapat memberikan komentar atau ulasan pribadi.
Membuat komentar tentu berdasarkan pengalaman membaca sebuah buku. Komentar tidak melulu berisi pujian, tetapi menekankan kesan pembaca.
Ambil contoh novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Misalnya, selama membaca buku ini kamu bosan karena bahasa yang digunakan sulit kamu pahami karena pengaruh ejaan lama dan Bahasa Melayu.
Kisah perjodohan juga kurang relevan untuk anak muda zaman sekarang. Maka, kamu dapat menyampaikan komentar kurang lebih seperti ini:
Zaman sekarang, perjodohan tidak semarak seperti saat novel ditulis. Namun, buku ini tetap menarik karena hak perempuan akan tetap segar dibicarakan sampai kapanpun. Meski butuh pemahaman ekstra untuk ejaan lama dan pengaruh Bahasa Melayu.
Baca juga: Perbedaan Fiksi dan Nonfiksi
“Buku hebat yang secara luar biasa menggambarkan problem, mengartikulasi nilai, memaparkan risiko, dan menawarkan cara yang bisa dipahami dan dipraktikkan untuk menanggapi kesulitan yang dialami jurnalisme saat ini. Elemen Jurnalisme layak menjadi bacaan wajib setiap institusi dan siapapun yang terlibat dalam jurnalisme.” –Neil Rudenstine, rektor Harvard University.
Contoh di atas merupakan komentar atas buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosentiels. Dalam komentar buku nonfiksi, relevansi sangat dipertimbangkan. Orang yang berkomentar setidaknya paham atau bersinggungan buku yang ditulis.
Komentar rektor Harvard University dinilai penting mengingat Harvad merupakan perguruan tinggi terbaik di dunia, yang mencetak akademisi hebat.