Ia menuntut agar keuangan Hindia Belanda (koloni) dipisah dari keuangan Belanda (negeri induk) dan ada disentralisasi dalam pemerintahan.
Kritikan yang sama disampaikan oleh Hendrik (Henri) Hubertus van Kol, anggota Parlemen dari partai sosialis Belanda (SDAP).
Peter Brooschof (jurnalis De Locomotief) menyatakan bahwa satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan dari penghasilan rakyat dan tidak mengembalikan sepeserpun.
Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) tokoh liberal menyampaikan kritik melalui artikelnya Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids 1899.
Dalam artikel itu menyebutkan dalam kurun waktu 1867-1878, Belanda telah mengambil keuntungan 187 gulden. Keuntungan itu seharusnya dikembalikan pada koloni karena pada dasarnya merupakan hutang kehormatan yang harus dibalas dengan kebijakan politik etis.
Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli membuat buku berjudul Max Havelaar, yang dianggap paling berhasil mengubah opini rakyat Belanda melalui tulisannya.
Baca juga: Penyimpangan dan Dampak Politik Etis
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai kewajiban moral dan hutang budi terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Kebijakan baru yang dikeluarkan Ratu Wilhelmina bagi masyarakat Hindia Belanda tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pada awal perumusan Kebijakan Politik Etis, terjadi pro dan kontra di kalangan intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda.
Sebagian anggota Parlemen Belanda menentang tetapi ada juga yang mendukung program ini. Sebab dinilai mengandung tujuan manusiawi bahkan sebagai kewajiban moral terhadap rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.