Novel dikategorikan sebagai karya fiksi. Dalam Teori Pengkajian Fiksi (1998) karya Burhan Nurgiyantoro, fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, juga interaksinya dengan diri sendiri.
Sedangkan, novel sejarah adalah karangan fiksi tentang sejarah atau kejadian di masa lampau.
Menurut Georges Lukacs dalam Théories du Roman (1963) novel sejarah adalah cerminan masa kini dalam suatu masa lalu, atau suatu usaha untuk memahami atau menampilkan masa kini melalui masa lalu.
Yang berarti bahwa tokoh sejarah dapat menduduki tokoh utama. Tetapi perwatakannya dan tampilannya dalam aksi disesuaikan dengan interpretasi pengarang.
Kerangka novel sejarah dapat ditandai dengan melihat beberapa poin berikut:
Contohnya:
Contoh: Tirto Adhi Soerja adalah seseorang yang lahir dari kalangan priyayi pada masa penjajahan Belanda. Di zaman itu, orang pribumi dianggap sebagai orang rendahan. Meski dari kalangan priyayi, hubungan antara pribumi dan koloni sangat sengit. Tirto menjadi orang Indonesia pertama yang menerbitkan media, yaitu Medan Prijaji. Tirto kerap mengritik kesewenang-wenangan koloni Belanda melalui tulisannya. Ia mengangkat kasus sebuah pabrik yang menyewa tanah rakyat Indonesia dengan paksa, lalu mempekerjakan mereka dengan upah tidak layak dan penuh kekerasan. Tirto mengungkap keterlibatan pejabat lokal dalam sengketa tersebut. Ia berulangkali dibawa ke pengadilan karena menyinggung pemerintah Belanda.
Contohnya: novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Contohnya: mengembangkan kisah dari bahan sejarah penjajahan Belanda dan beberapa cuplikan kisah dari Tirto Adhi Soerja. Kisah tersebut dapat dibumbui dengan romantisme dan menceritakan sudut pandang seorang pribumi menghadai kesewenang-wenangan koloni.
Menulis cerita berdasarkan struktur novel, yaitu:
Tahap ini disebut juga eksposisi dan orientasi. Pada tahap pertama, novel biasa dibuka dengan pengenalan tokoh, menarasikan situasi, atau menjelaskan hubungan antartokoh.
Contohnya: menjelaskan pengenalan tokoh Minke, Annelis, Nyai Ontosoroh, dan kedua laki-laki Mallema. Pada tahap ini, penulis menceritakan hubungan antartokoh tersebut.
Tahap ini disebut juga complication. Tanda-tanda munculnya masalah dalam cerita mulai muncul pada bagian ini. Berbagai masalah ditandai dengan munculnya pertentangan, kesulitan, juga pertengkaran awal para tokohnya.
Contohnya: kematian suami Nyai Ontosoroh, sekaligus ayah Annelis. Ia meninggal di sebuah rumah prostitusi yang dikelola orang Tiongkok.
Tahap ini disebut juga rising action. Tahap ini menjadi tahap yang cukup ekspresif. Ada peningkatan emosi yang terjadi antartokoh. Baik itu gembira, sedih, marah, cemas, atau bimbang yang disebabkan oleh kemunculan peristiwa di tahap sebelumnya.
Contohnya: Status Nyai Ontosoroh sebagai pribumi membuatnya mendapat banyak tentangan dari koloni Belanda. Sementara, hubungan antara Annelis dan Minke banyak dikecam publik.
Tahap ini disebut puncak konflik atau turning point. Klimaks disebut sebagai puncak dalam alur cerita karena pada tahap ini menjadi penentu perubahan nasib tokoh. Bagian ini menjadi mendebarkan karena menjadi penentu bagaimana tokoh menghadapi masalahnya.
Contohnya: Ada perdebatan hak asuh dan hak waris yang berusaha diperjuangkan Nyai Ontosoroh dan Annelis. Hukum yang diterapkan koloni Belanda tidak adil pada pribumi. Minke memberitakan kasus tersebut di media masa, sehingga terkuaklah ketidakadilan Belanda. Pemberitaan tersebut membuat koloni geram.
Tahap ini disebut ending atau koda. Akhir cerita menjadi tahap di mana tokoh sudah menetapkan jalan untuk menghadapi masalahnya. Biasa ditutup dengan narasi tentang keadaan tokoh atau situasi setelah klimaks terjadi.
Contohnya: Annelis harus pergi ke Eropa. Minke dan Annelis berpisah.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/26/130000869/contoh-kerangka-novel-sejarah