Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

4 Perempuan Pahlawan Nasional

KOMPAS.com - Banyak perempuan-perempuan Indonesia yang turut membela negara dan melawan penjajah. Hal ini semata-mata untuk mendapatkan kebebasan.

Bahkan tak sedikit perempuan yang berjuang agar tidak lagi dipandang sebelah mata. Kompas.com merangkum sosok empat Pahlawan Nasional perempuan namanya terus dikenang:

Cut Nyak Dien

Disadur dari buku 100 Great Women (2010) karya Fenita Agustina, Cut Nyak Dien lahir di Lampung, tahun 1848. Lahir dikeluarga bangsawan, Cut Nyak Dien hidup sederhana.

Kisah keberaniannya dalam mempertahankan kebebasan rakyat Aceh dari penjajahan Belanda, terkenal hingga ke pelosok negeri.

Dengan memimpin pasukan pejuang Aceh melawan Belanda, dirinya dikenal sebagai "Ratu Jihad" dari Aceh. Pada tanggal 8 April 1873 perang Aceh pertama dimulai. Sebagai putri Aceh yang taat beragama, dia sangat marah melihat tempat ibadahnya dibakar Belanda.

Bersama dengan suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga, ia bertarung di garis depan. Tragis, pada tanggal 29 Juni 1874 Cut Nyak Dien harus merelakan suaminya tewas saat bertempur.

Tak pantang menyerah, Cut Nyak Dien tetap melanjutkan perlawanannya. Pada tahun 1880 Cut Nyak Dien dipersunting oleh Teuku Umar dan berjuang bersama melawan penjajah Belanda.

Namun pada tanggal 11 Februaru 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran melawan Belanda di Meulaboh. Cut Nyak Dien saat itu sudah mulai renta dan sering sakit-sakitan.

Cut Nyak Dien akhirnya ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal dunia karena usia dan dimakamkan di Sumedang, Jawa barat.

Ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 2 Mei 1964.

RA Kartini

Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi Indonesia. Ia lahir di Jepara tanggal 21 April 1879.

Sebagai tokoh perempuan Jawa sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Melalui Kartini, perempuan mendapatkan hak yang sama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau pendidikan.

Kartini kecil sempat merasakan sekolah di Europese Lagere School (ELS) hingga 12 tahun. Kemudian harus berhenti sekolah karena sudah bisa dipingit atau dinikahkan.

Meski tak sekolah, Kartini tetap belajar sendiri dan menulis banyak surat berbahasa Belanda kepada teman-temannya di Belanda. Ketertarikan Kartini terhadap kemajuan berpikir perempuan Eropa di mulai dengan membaca buku, koran, dan majalah.

Dari situlah semangatnya untuk menaikkan derajat perempuan pribumi semakin tinggi. Agar perempuan memperoleh kebebasan, persamaan hukum, dan memperoleh pendidikan serta otonomi yang sama.

Kartini tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan juga di Belanda. Pada tanggal 17 September 1904, RA kartini menginggal dunia setelah melahirkan anak pertamanya.

Namanya dikenal lewat buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpukan dari surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Pada tanggal 2 Mei 1962, RA Kartini resmi dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia.

Lahir di Bandung tanggal 4 Desember 1884, Dewi Sartika dipaksa untuk bersekolah di sekolah Belanda.

Namun, semenjak ikut dengan pamannya, Raden Dewi Sartika hanya memperoleh pendidikan dasar di Cicalengka, karena ayahandanya, Raden Somanagara meninggal dunia.

Disadur dari buku Kumpulan Pahlawan Indonesia (2012) karya Minarwati, sejak kecil Dewi Sartika memiliki bakat sebagai pengajar. Ia selalu memanfaatkan papan bilik, kandang kereta, dan pecahan genteng untuk mengajarkan pengetahuan kepada sesama.

Dia juga mengajarkan saudara perempuannya keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.

Akhirnya pada tahun 1904, Dewi Sartika berhasil membuka sekolah dengan nama Sakola Istri (sekolah perempuan). Sekolah itu didirikan di ruang pendopo Kabupaten Bandung dan dibantu oleh dua orang saudaranya.

Sekolahnya berkembang pesat, sehingga menjadi nama Sakola Kautamaan Istri dan membuat organisasi Kautamaan Istri di Tasikmalaya. Kemudian pada tahun 1929 berganti lagi menjadi nama Sekolah Raden Dewi.

Saat terjadi agresi militer Belanda tahun 1947, Dewi Sartika turut berjuang melawan Belanda. Kondisi semakin genting dan mengharuskan Dewi Sartika mengungsi.

Akhirnya pada tanggal 11 September 1947 Dewi Sartika wafat di pengungsian dan diberi gelar kehormatan pada tanggal 1 Februari 1966.

Saat Panembahan Serang menolak Perjanjian Giyanti yang dianggap merugikan rakyat, Belanda geram dan melakukan perang besar. Di situ Kustiyah membantu ayahnya untuk menahan serangan Belanda.

Namun, Kustiyah berhasil ditangkap dan dibawa ke Jogjakarta. Tak berapa lama, ia mampu melarikan diri.

Kustiyah pun bergabung dalam Perang Diponegoro karena dia tidak ingin negerinya terus dijajah oleh Belanda. Kustiyah terus berjuang dalam kondisi dipikul dengan tandu.

Oleh karena semangat dan kegigihannya, Kustiyah dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang.

Dirinya dikenal memiliki taktik strategi perang yang hebat. Bahkan Pangeran Diponegoro menjadikannya sebagai penasihat dalam siasat perang.

Pada tahun 1828, Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 tahun. Saat itu perang masih berlangsung. Beliau menjadi salah satu contoh wanita Indonesia yang mempunyai semangat juang untuk membela tanah air.

Pada 13 Desember 1974, Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia.

https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/10/103021869/4-perempuan-pahlawan-nasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke