Ketika ditanya tentang apa yang ingin dia perjuangkan jika nantinya terpilih sebagai wakil rakyat, Aldi merespons dengan membaca surat Al-Fatihah, sebelum akhirnya mengatakan “lihat saja kerja saya nanti”.
Tindak-tanduk Aldi ini menimbulkan pertanyaan tentang strategi politiknya untuk mendulang suara jelang pemilu mendatang.
Strategi politik Aldi Taher sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang unik, apalagi kalau kita melihat lanskap politik global. Strategi yang mirip juga bisa dilihat dalam kampanye politik mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, misalnya.
Meski tidak sama persis, Trump juga menggunakan bahasa dan tingkah laku yang mengundang sensasi. Hal ini bisa dilihat ketika dia menyombongkan ukuran kejantanannya dalam debat calon presiden, sampai dengan usulannya untuk menyuntikkan disinfektan untuk mengobati COVID-19.
Baca juga: LIPI: Fenomena Post-truth Erat Kaitannya dengan Komunikasi Politik dan Teknologi
Tingkah laku semacam ini merupakan bentuk “media spectacle” (tontonan media) yang dirumuskan Douglas Kellner, profesor di Columbia University, sebagai konstruksi media yang menjadi tontonan yang dikonsumsi dan menarik perhatian media dan masyarakat.
Media spectacle disebarluaskan melalui televisi, internet, media sosial, serta teknologi komunikasi dan media baru lainnya. Penggunaan media spectacle terbukti sangat efektif dalam menarik perhatian media selama kampanye Donald Trump dan berkontribusi dalam kemenangannya di pemilihan presiden AS tahun 2016.
Penggunaan praktik politik tontonan dalam kampanye pada dasarnya bukan hal yang salah. Namun, hal ini menjadi masalah ketika tontonan yang disajikan justru mengalihkan perhatian dari wacana politik yang substansial dan isu-isu yang penting bagi masyarakat.
Sepintas, Aldi terlihat lucu dan jenaka, tetapi jawaban "lucu"nya atas pertanyaan-pertanyaan penting tentang agenda politik justru terkesan mengesampingkan bahkan mengabaikan isu-isu serius yang tengah dihadapi konstituennya.
Padahal, masih banyak masalah yang dirasakan masyarakat Jawa Barat, seperti jalan rusak, tingkat pengangguran yang tinggi, serta pemulihan perekonomian pasca pandemi.
Ketika seorang calon anggota legislatif begitu tak acuh akan tujuan politik mereka dan malah berfokus pada lelucon dan sensasi demi mendulang suara, ini bisa jadi pertanda bahwa dia tidak benar-benar memiliki komitmen untuk melayani dan mewakili rakyat.
Baca juga: Kemenangan Trump, Bukti Efektifnya Politik Menakuti-Nakuti
Donald Trump, misalnya, berhasil memanipulasi media spectacle hingga memenangkan pemilu presiden AS meski tak punya rancangan kebijakan yang jelas untuk kepentingan rakyat AS.
Belum lagi potensi bahaya tontonan semacam ini terhadap proses demokrasi.
Degradasi debat dan wacana politik kemudian menjadi sensasionalisme semata dan, sebagai dampaknya, dapat menggerogoti keseriusan iklim politik. Hal ini kemudian dapat melemahkan kemampuan konstituen untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang relevan tentang pemimpin terpilih.
Selain itu, ketika politikus berperilaku sedemikian rupa, dia membuka pintu untuk bentuk politik tontonan yang lebih ekstrem yang dapat digunakan untuk memanipulasi para pemilih.
Ini merupakan ancaman yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses dan institusi demokrasi.