Oleh: Geby Otivriyanti dan Wahyu Purwanta
NATIONAL Geographic edisi Maret 2019 melaporkan bahwa konsorsium perusahaan petrokimia dan barang konsumen yang disebut Alliance to End Plastic Waste, termasuk Exxon, Dow, Total, Shell, Chevron Phillips, dan Procter & Gamble, berkomitmen untuk menggelontorkan 1,5 miliar dollar AS selama lima tahun untuk mengatasi limbah plastik.
Baca juga: Sejak Kapan Plastik Digunakan Manusia?
Tujuan mereka adalah untuk mendukung bahan alternatif dan sistem pengiriman, meningkatkan program daur ulang, dan - lebih kontroversial - mempromosikan teknologi yang mengubah plastik menjadi bahan bakar atau energi.
Plastik menjadi energi melalui proses termal bukanlah hal baru, pertanyaannya amankah memproses plastik secara termal bagi lingkungan?
Sudah menjadi pengetahuan bahwa jumlah plastik dalam komposisi sampah perkotaan terus meningkat.
Hal ini tidak terlepas dari peningkatan populasi maupun sifat plastik itu sendiri yang tahan lama, ulet, tahan air, tahan panas, tidak mudah kotor, tahan abrasi, konduktivitas listrik dan panas rendah, nir berkarat serta memiliki banyak kegunaan dan sangat terjangkau.
Aplikasi plastik dapat ditemukan di hampir semua bidang kehidupan sehari-hari karena keserbagunaannya.
Persoalan kemudian timbul manakala masyarakat memiliki persepsi bahwa plastik adalah bahan yang sekali pakai. Pola ini menimbulkan permasalahan baru berupa sampah plastik yang persentasenya dalam komposisi sampah perkotaan terus meningkat.
Data komposisi sampah di DKI Jakarta menunjukkan plastik sebanyak 13,25 persen (tahun 2005) kemudian meningkat menjadi 14,02 persen (tahun 2011) dan 22,2 persen (tahun 2020). Sebaliknya terjadi penurunan proporsi pada sampah organik mulai dari 55,37 persen (tahun 2005), 53,75 persen (tahun 2011) dan 44,3 persen (tahun 2020).
Baca juga: Plastik Terbuat dari Minyak dan Gas yang Berasal dari Tumbuhan, Kenapa Tidak Bisa Terurai?
Perubahan komposisi tersebut bisa jadi akibat perubahan gaya hidup. Namun demikian perubahan komposisi sampah juga ikut merubah pandangan bahwa sampah tidak sekedar limbah tetapi juga ’sumberdaya’.
Selanjutnya banyak ahli maupun akademisi persampahan mulai mewacanakan pengolahan sampah tidak hanya berbasis proses biologis namun juga proses termal dengan memanfaatkan panas maupun material hasil konversinya sebagai energi baru.
Melalui insinerator, plastik beserta sampah kota lainnya dibakar untuk menghasilkan panas dan uap yang dapat memutar bilah turbin dan menghasilkan listrik. Metode ini diterapkan pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantargebang.
Saat ini telah ribuan PLTSa beroperasi di dunia. Dalam perkembangannya lainnya metode gasifikasi dimana suplai udara lebih rendah rendah juga sudah dibangun dan dioperasikan di PLTSa Benowo Surabaya.
Peran plastik dalam metode konversi termal ini terletak pada kandungan hidrokarbon dan tentu nilai kalornya.
Nilai kalor adalah semacam ‘potensi energi’ dari material dan sering menjadi parameter disain penting dalam menentukan tingkat keterbakaran dan demikian juga efisiensi konversi sampah ke energi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.