Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Kesetaraan Gender di Korea Selatan Rendah Meski Sudah Jadi Negara Maju?

Kompas.com - 09/03/2023, 06:00 WIB
The Conversation,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

Presiden Kim Dae Jung (1998-2003) membentuk institusi khusus Kementerian Kesetaraan Gender, memberikan kuota perempuan di parlemen, dan insentif penitipan anak.

Sementara penerusnya, Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008), meningkatkan anggaran untuk Kementerian Kesetaraan Gender dan memulai peruntukan anggaran yang sensitif gender.

Namun, pemerintahan konservatif Lee Myung-bak (2008-2013) yang berorientasi pasar membawa kemunduran dengan memangkas anggaran Kementerian Kesetaraan Gender.

Park Geun-hye (2013-2016) menjadi presiden perempuan pertama Korea Selatan, yang diharapkan mampu memberikan warna yang lebih kuat terhadap kebijakan pro gender.

Di bawah pemerintahannya, anggaran kebijakan kesetaraan gender terus meningkat, termasuk untuk subsidi penitipan anak, cuti hamil, dan pengasuhan anak.

Namun, representasi perempuan dalam jabatan publik strategis masih sangat rendah. Ini membuat Park dianggap oleh publik sebagai “presiden perempuan tanpa perempuan” karena gagal memenuhi janji kampanyenya untuk menempatkan perempuan dalam posisi-posisi penting pemerintahan.

Hanya ada dua menteri perempuan dari sembilan belas anggota kabinetnya.

Baca juga: Video Viral Mahasiswa Unhas Diusir karena Mengaku Non-Biner, Apa Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender?

Situasi ini dimanfaatkan oleh Moon Jae-in dalam pemilu 2017 melalui janji kampanyenya menjadi “presiden feminis” untuk mempromosikan kebijakan kesetaraan gender.

Selama pemerintahannya, Moon menunjuk empat menteri perempuan, termasuk Kang Kyung-hwa yang menjadi Menteri Luar Negeri perempuan pertama Korea Selatan.

Ini jumlah tertinggi perempuan di kabinet sepanjang sejarah negara tersebut, walaupun belum mencapai 30 persen keterwakilan.

Selama pemerintahan Presiden Yoon Suk-Yeol saat ini, kesetaraan gender di Korea Selatan kembali mengalami kemunduran. Hanya ada tiga menteri perempuan – Menteri Pendidikan Park Soon-ae (mengundurkan diri) Agustus lalu), Menteri Kesejahteraan Kim Seung-hee dan Menteri Keamanan Pangan dan Obat Oh Yoo-kyung.

Kebijakan pemerintah Yoon yang konservatif juga menuai banyak kritik, termasuk rencana penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Ia dicap sebagai “antifeminis”.

2. Politisasi isu kesetaraan gender

Isu kesetaraan gender sering dimanfaatkan politikus di Korea Selatan dalam periode pemilu hanya untuk menarik suara pemilih.

Pakar menyatakan bahwa kebijakan anti-gender yang diusung Presiden Yoon selama kampanye Pemilu 2022 telah membantu kemenangannya.

Mewakili partai konservatif terbesar Korea Selatan, Partai Kekuatan Rakyat, Yoon mengklaim kebijakan Moon bias laki-laki dan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga telah “memperlakukan laki-laki sebagai penjahat (treated men as potential criminals).”

Baca juga: Apa Saja Perjuangan Kartini tentang Emansipasi Perempuan?

Yoon memanfaatkan kekecewaan publik, mayoritas laki-laki, yang merasa dirugikan oleh upaya kesetaraan gender pemerintah karena dianggap mengistimewakan perempuan, sementara laki-laki harus ikut wajib militer.

Dengan menjalankan wajib militer selama kurang lebih dua tahun, menurut narasumber yang kami wawancara pada Oktober 2022, laki-laki di Korea Selatan kehilangan waktu untuk mengembangkan karir dibandingkan perempuan.

Politisasi isu kesetaraan gender ini menyebabkan Presiden Yoon sangat hati-hati menangani isu-isu gender agar tidak menabrak janji kampanyenya.

3. Hambatan kultural dan struktural

Kondisi kultural dan struktural di Korea Selatan masih cenderung patriarki.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com