Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Mencegah Resistensi Antimikroba dalam Perawatan Luka

Kompas.com - 04/12/2022, 18:29 WIB
Bestari Kumala Dewi

Penulis

KOMPAS.com - World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia menyatakan bahwa Resistansi Antimikroba (AMR) merupakan salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara berkembang.

Bahkan, dapat menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2050.

Mengutip pernyataan Kementerian Kesehatan dalam laman websitenya, resistensi antimikroba saat ini bisa dikatakan sebagai pandemi senyap (silent pandemic), karena angka kematiannya cukup tinggi.

Baca juga: Resistensi Antimikroba Sebabkan 1,27 Juta Kematian Setiap Tahunnya, Ini Kata Wamenkes

Pada 2030, diperkirakan penggunaan antibiotik di seluruh dunia akan meningkat sebesar 30%, bahkan semakin meningkat sebesar 200% jika resistensi antimikroba tidak benar-benar ditangani dengan baik.

Sementara itu data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS), sebagai data acuan nasional terkait resistensi antimikroba (AMR) di Indonesia menunjukkan peningkatan presentase AMR di Indonesia pada tahun 2019.

Risiko resistensi antimikroba pada perawatan luka

Dr Harry Parathon, Sp.OG (K), Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO) mengungkap, salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka.

Semakin tinggi penggunaan antibiotik, maka risiko resistensi antimikroba juga semakin tinggi.

Resistensi antimikroba adalah kondisi yang dapat terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan, sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.

“Adanya resistensi antimikroba akan memengaruhi prosedur manajemen luka, karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba, termasuk yang resisten antimikroba ke dalam jaringan,” jelas dr Harry dalam virtual media briefing “Inovasi Sorbact Mencegah Resistansi Anti Mikroba (AMR) dalam Perawatan Luka” beberapa hari lalu

Sekitar 70% bakteri penyebab infeksi pada luka, resisten terhadap sedikitnya satu jenis antibiotik yang umum digunakan.

Masalahnya, infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik ini lebih sulit untuk diobati dan menyebabkan biaya pengobatan lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan bahkan meningkatkan risiko kematian.

Baca juga: Mengenal Resistensi Antimikroba, Apa Itu?

Ilustrasi antimikroba. Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global yang serius. SHUTTERSTOCK/Jarun Ontakrai Ilustrasi antimikroba. Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global yang serius.

Cara mencegah resistensi antimikroba dalam perawatan luka

Dr Harry menyebutkan, dengan mengendalikan mikroba, infeksi dapat dicegah dan dengan demikian mengurangi kebutuhan akan antibiotik.

Salah satu upaya untuk mengendalikan resistensi antimikroba adalah dengan usaha penerapan antimicrobial Stewardship (AMS).

Menurutnya, AMS menjadi strategi untuk memerangi peningkatan AMR dengan berfokus pada penggunaan antimikroba yang tepat guna oleh professional kesehatan dengan mengikuti aturan dan pedoman yang sudah ditetapkan.

“Dengan demikian dapat meningkatkan hasil perawatan pasien, mengurangi resistansi mikroba, dan mengurangi penyebaran infeksi yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat,” ujarnya.

Ia menambahkan, strategi AMS penting di semua area perawatan kesehatan, termasuk area spesialis manajemen luka.

Perawatan luka yang bisa dilakukan untuk mempercepat kesembuhan luka dan efektif mencegah resistensi antimikroba adalah dengan menggunakan pembalut luka berteknologi Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) coated wound dressings,” kata dr Harry.

Baca juga: 6 Strategi Turunkan Angka Resistensi Antimikroba di Indonesia

Berbeda dengan balutan antimikroba lainnya yang secara aktif membunuh mikroba, pembalut luka yang terbuat dari Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) ini bersifat hidrofobik, mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen, dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat.

Dalam kesempatan yang sama, Joice Simanjuntak, Marketing Director Essity mengatakan, produk perawatan luka seperti Dialkylcarbamoyl chloride coated wound dressings dapat dipergunakan oleh pasien untuk perawatan luka pascaoperasi dan juga luka kronis, seperti luka kaki diabetes, serta luka tekan akibat tirah baring.

Produk pembalut luka ini, mampu menurunkan angka Infeksi Daerah Operasi (IDO) sampai dengan 65% dibandingkan standard dressing dan bahkan mampu mengikat 5 bakteri patogen utama menurut WHO.

Selain itu juga tidak ada kontra indikasi dan rendah risiko alergi, sehingga dapat digunakan pada bayi baru lahir, wanita hamil, dan ibu menyusui.

Baca juga: Resistensi Antimikroba Mengancam Dunia, WHO Dorong Riset Pengembangan Vaksin

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com