Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikenal sebagai Kawasan Wisata, Begini Upaya Pengelolaan hingga Pemanfaatan Sampah Plastik di Wakatobi

Kompas.com - 25/04/2022, 07:05 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wakatobi merupakan salah satu destinasi wisata pantai dan kelautan, yang menarik perhatian turis asing maupun lokal karena keindahan alamnya.

Namun demikian, wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara memiliki masalah dalam pengelolaan sampah termasuk di desa-desa.

Sebagai informasi, Kabupaten Wakatobi terdiri dari empat pulau di antaranya Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, Jumat (20/3/2020) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wakatobi mencatat, ada sekitar 45 ton sampah per hari yang bisa dikumpulkan dari empat kawasan itu.

Baca juga: Sampah Plastik di Laut Bikin Kelomang Tak Bisa Kenali Makanannya

Dari jumlah tersebut sebanyak 30 hingga 40 persen adalah jenis sampah plastik, sementara sisanya sampah non-organik seperti kulit buah, sayuran, dan sebagainya.

Oleh karena itu, masyarakat di Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara berupaya untuk mengelola sekaligus memanfaatkan sampah plastik di daerahnya.

Wakatobi Program Coordinator Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), La Ode Arifudin menyampaikan bahwa edukasi mengenai pengelolaan sampah plastik di Desa Kulati sangat diperlukan, mengingat dampaknya pada kesehatan dan lingkungan.

Arif, sapaan La Ode Arifudin, menuturkan pihaknya telah mencoba untuk menyediakan tong sampah terpilah di Desa Kulati. Sehingga, antara sampah organik maupun non-organik bisa dipilah terlebih dahulu sebelum dibawa oleh petugas pengumpul sampah.

Sebab, lanjut Arif, selama ini di Desa tersebut semua jenis sampah dijadikan satu hingga akhirnya dikirimkan ke tempat pembuangan.

Sejauh ini, YKAN bersama dengan kelompok masyarakat akan memfokuskan pengelolaan di satu wilayah yakni Desa Kulati, dengan menyasar para pelajar.

"Maksud dari kami mengedukasi anak-anak usia dini adalah salah satu investasi kita untuk ke generasi muda, bagaimana kemudian mereka bisa paham terkait dengan lingkungan sejak usia dini," kata Arif, Jumat (22/4/2022).

"Kami berpikir bahwa kita harus memulai dari segala sudut termasuk generasi muda. Maka dengan itu, kita coba mulai desain beberapa modul sederhana pendidikan lingkungan hidup di skala SD sampai SMP," sambungnya.

Baca juga: Bahaya Sampah Plastik bagi Lingkungan

 

Dirinya berkata, pengelolaan sampah khususnya di Desa Kulati masih membutuhkan upaya yang lebih serius. Maka, hal seperti pengelolaan sampah dan meningkatkan kesadaran sejak usia dini perlu dilakukan.

"Anak-anak SD dari hasil pendidikan lingkungan hidup yang kita bangun pada akhirnya bisa memengaruhi lingkungan sekitarnya," papar Arif.

Dia mencontohkan, pelajar di SDN Kulati sudah mulai menggunakan peralatan makanan dan minuman yang bisa digunakan kembali, dibandingkan memakai kemasan sekali pakai.

"Kami berharap bahwa ini adalah inisiatif awal yang kita dukung ke desa, kita berharap ke depannya program ini (penyediaan tong sampah) akan dilanjutkan oleh pemerintah desa," ucap dia,

Artinya, dengan adanya dukungan dari pemerintah desa, keberlanjutan pengelolaan sampah plastik di Desa Kulati bisa terus berjalan secara optimal.

Baca juga: Kelompok Ekowisata di Wakatobi Manfaatkan Sampah Plastik untuk Paving Block Rumah, Seperti Apa?

Pemanfaatan sampah plastik di Desa Kulati Wakatobi

Sementara itu, sebagai bagian dari upaya pengelolaan sampah plastik, kelompok ekowisata di Desa Kulati mulai menerapkan pemanfaatannya melalui metode pirolisis. 

Untuk diketahui, pirolisis adalah proses dekomposisi kimia suatu bahan pada suhu yang tinggi untuk menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin dan solar.

Senada dengan Arif, Ketua Kelompok Ekowisata Poassa Nuhada Desa Kulati, Nyong Tomia berkata masih banyak masyarakat yang membuang sampah tanpa memilahnya terlebih dahulu.

Tak hanya sampai di situ, sampah plastik yang dihasilkan dari rumah tangga juga semakin menumpuk.

Pemanfaatan sampah plastik dengan pirolisis untuk mengubahnya menjadi solar dianggap dapat menjadi salah satu upaya pengelolaan, serta pemanfaatan sampah di desa.

Dijelaskan Nyong, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, bersama Jasa Raharja dan Kelompok Ekowisata Masyarakat Poassa Nuhada Desa Kulati mencoba untuk mengubah sampah plastik menjadi solar menggunakan mesin pirolisis.

Pihaknya menyebut pengelolaan sampah menjadi BBM jenis solar yang telah dilaksanakan sejak tahun lalu itu, masih dalam tahap uji coba.

Sedangkan, solar yang dihasilkan dari sampah plastik itu akan diteliti lebih lanjut di laboratorium, guna melihat kelayakannya.

Dalam sistem pengelolaan sampah dengan pirolisis, tidak semua jenis sampah plastik bisa diolah. Adapun jenis sampah yang dapat digunakan hanya tiga jenis plastik, meliputi:

  • Plastik PP seperti kemasan air mineral gelas
  • Plastik HDPE seperti sampah plastik keras
  • Serta plastik LDP seperti kantong plastik

"Tiga sampah plastik itu yang sudah kami olah selama ini, dan alhamdulillah alhasil bisa menghasilkan bahan bakar solar yang sudah juga dipakai oleh nelayan kami untuk melaut," ujar Nyong.

Kegiatan pirolisis di Desa Kulati, kata Nyong, sudah berjalan sejak tahun 2021 dengan melibatkan pemerintah desa serta masyarakat sekitar dalam hal pengumpulan, maupun pemilahan sampah.

Mesin pirolisis yang digunakan kelompok masyarakat Desa Kulati, dapat  memuat 3 hingga 4 kilogram sampah dalam satu kali produksi agar menghasilkan solar sebanyak 2,8 liter.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Buang Sampah Plastik Sembarangan? Ilmu Sosial Jelaskan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com