Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Menentang Wacana Redupkan Matahari untuk Tangkal Pemanasan Global

Kompas.com - 19/01/2022, 11:01 WIB
Monika Novena,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rencana 'gila' yang dirancang untuk mendinginkan permukaan Bumi dan mengurangi dampak pemanasan global mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Dalam rencana itu, Matahari kita akan secara sengaja dibuat redup dengan cara menyemprotkan zat kimia ke atmosfer Bumi.

Mengutip Science Alert, Selasa (18/1/2022) skema rekayasa itu menurut lebih dari 60 pakar kebijakan dan ilmuwan berpotensi berbahaya.

Baca juga: Studi Harvard, Meredupkan Matahari Efektif Tangkal Pemanasan Global

Bahkan menurut mereka skema rekayasa yang disebut Modifikasi Radiasi Matahari (SRM) ini konsekuensinya bisa lebih besar daripada manfaat apa pun.

"Penyebaran geoengineering Matahari tak dapat diatur secara global dengan cara yang adil, inklusif, dan efektif. Oleh karena itu kami menyerukan tindakan politik untuk mencegah normalisasi geoengineering Matahari sebagai opsi kebijakan iklim," tulis para peneliti dalam surat terbuka mereka.

Peningkatan 1,1 derajat Celcius pada pertengahan abad ke-19 telah meningkatkan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas yang mematikan, kekeringan, dan badai besar.

Negara-negara di dunia telah berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu permukaan Bumi hingga 1,5 derajat Celcius. Namun, para ilmuwan menyebut ambang batas itu justru bisa dilewati dalam satu dekade.

Sementara itu kegagalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong pemanasan global telah menyebabkan beberapa pembuat kebijakan untuk akhirnya merangkul geoengineering Matahari untuk mengulur waktu, yakni dengan meredupkan Mahatari.

Telah lama diketahui bahwa menyuntikkan sejumlah partikel reflektif ke atmosfer bagian atas dapat mendinginkan planet ini.

Alam kadang juga melakukan hal yang sama. Misalnya saja letusan Gunung Pinatubo tahun 1991 di Filipina menurunkan suhu rata-rata permukaan Bumi selama lebih dari setahun.

Tetapi, surat terbuka para ilmuwan ini menyebut ada beberapa alasan untuk menolak rekayasa kebumian itu.

Meredupkan gaya radiasi Matahari secara artifisial kemungkinan akan mengganggu hujan monsun di Asia Selatan dan Afrika barat.

Selain itu juga rekayasa dapat merusak tanaman tadah hujan yang menjadi sumber makanan ratusan juta orang.

"Injeksi sulfat stratosfer melemahkan monsum musim panas Afrika dan Asia serta menyebabkan pengeringan di Amazon," kata Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam penilaian ilmiah terbarunya.

Ilmuwan juga khawatir jika rekayasa dihentikan, suhu permukaan Bumi justru akan meningkat dengan cepat.

Baca juga: Catat Rekor Baru, Matahari Buatan China Diklaim 5 Kali Lebih Panas dari Aslinya

 

Surat terbuka itu juga memperingatkan, bahwa meningkatkan harapan perbaikan iklim secara cepat dapat membuat banyak pihak tak termotivasi untuk melakukan yang terbaik untuk mencegah pemanasan global.

Selanjutnya, surat terbuka ini menyerukan pemblokiran pendanaan dan penolakan pemberian hak paten untuk teknologi SRM.

Lebih lanjut, bentuk lain dari modifikasi radiasi Matahari termasuk mencerahkan awan laut dengan menaburkan partikel garam dari laut dan menempatkan cermin raksasa di luar angkasa untuk memantulkan sinar Matahari yang mengelilingi Bumi.

Baca juga: Usai Matahari, China Bakal Bikin Bulan Tiruan

Surat terbuka ini ditanda tangani antara lain oleh Frank Biermann, profesor tata kelola keberlanjutan global di Universitas Utrecht, Aarti Gupta, profesor tata kelola lingkungan global di Universitas Wageningen di Belanda.

Selain itu juga Profesor Melissa Leach, direktur Institut Studi Pembangunan di Sussex, Inggris dan Dirk Messner, presiden Badan Lingkungan Jerman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com