Mereka pun mau tidak mau mengambil jalan pintas melalui pinjol yang memberikan pinjaman dengan syarat dan ketentuan yang mudah, serta proses pencairan dana yang cepat.
Seperti disampaikan Wahyu dalam rilis UGM, dalam kondisi desakan ekonomi yang dipilih masyarakat, pinjol menjadi jalan pintas untuk menyambung hidup.
Lebih lanjut Wahyu mengatakan bahwa saat sudah terjerat pinjol, biasanya perempuan korban pinjol tidak lepas dari adanya pelabelan atau stigma dari masyarakat.
Beberapa stigma yang kerap muncul antara lain, dianggap tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, dianggap konsumtif, tukang utang dan lain sebagainya.
Tak jarang, stigmatisasi yang muncul tersebut menjadikan perempuan korban pinjol tertekan hingga bunuh diri karena tidak kuat menahan malu.
Baca juga: Apa Saja Dampak Psikologis akibat Terjerat Pinjaman Online? Ini Penjelasannya
Maraknya kasus masyarakat yang terjerat pinjol ini, imbuh Wahyu menunjukan sistem sosial (supporting system) di masyarakat tidak bekerja.
Korban merasa sendiri dan buntu di tengah desakan ekonomi, namun masyarakat tidak memberikan dukungan.
Oleh sebab itu, Wahyu menekankan perlunya memperkuat supporting system di lingkungan masyarakat.
Saat ada salah satu warga yang terjerat pinjol diharapkan tetangga dapat memberikan dukungan atau bantuan dalam mencari solusi.
“Masyarakat bisa menginisiasi gerakan bersama menghadapi krisis saat pandemi termasuk persoalan ekonomi seperti pinjol semisal dengan membangun kelompok-kelompok usaha kecil. Kalau ini tidak dilakukan akan banyak yang tertekan sehingga solidaritas sosial penting,” jelas Wahyu.
Baca juga: Penyakit Autoimun Banyak Dialami Perempuan Usia Produktif, Kenali Penyebab dan Gejalanya