Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Cuma Covid-19, Indra Penciuman Berkaitan Erat dengan Kesehatan

Kompas.com - 08/03/2021, 11:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Efek penyakit terhadap daya penciuman manusia menjadi sorotan pada masa pandemi Covid-19. Namun apa lagi yang bisa kita pelajari soal kesehatan dari hidung?

Barrie Smith didiagnosa mengidap penyakit Parkinson pada usia 50-an tahun, namun 18 tahun sebelum dia mendapat diagnosa tersebut, dia menunjukkan gejala permanen yang sangat janggal.

Pada satu hari dia mencium "bau asap yang kuat, seperti kabel terbakar," ujarnya. Sejak saat itu dia tidak pernah bisa mencium bau atau aroma apapun.

Pada saat itu, dokter yang menangani Smith menduga pasiennya itu kehilangan daya penciuman akibat sering menyelam menggunakan alat scuba mengingat penyelaman di laut dalam diketahui terkadang bisa menyebabkan gangguan pada daya penciuman.

Jika saja dugaan dokter benar saat itu.

Baca juga: Mengenal Anosmia: Dari Gejala, Penyebab, hingga Pengobatan

Kehilangan daya penciuman memang bisa disebabkan scuba diving, seperti kasus Smith. Namun, kehilangan daya penciuman juga dapat disebabkan banyak hal lainnya.

Zaman sekarang, sebagian besar orang langsung mengaitkannya dengan Covid-19.

Kehilangan daya penciuman juga bisa menjadi gejala penyakit saraf degeneratif, termasuk penyakit sklerosis ganda atau multiple sclerosis (MS), penyakit Parkinson, dan Alzheimer.

Riset menemukan bahwa hingga 38 persen mereka yang mengidap MS dan hampir setengah dari orang lanjut usia yang didiagnosa mengalami demensia, menunjukkan tanda-tanda kehilangan daya penciuman lima tahun sebelumnya.

Adapun pada penyakit Parkinson, sebanyak 45-96 persen pasien menunjukkan gangguan penciuman.

Selama bertahun-tahun, kehilangan daya penciuman alias anosmia, diabaikan sebagai penanda bagi penyakit seperti Parkinson.

Namun, sejumlah ilmuwan meyakini bahwa menggunakan daya penciuman sebagai alat diagnosa dapat mencapai kemajuan besar.

Patologi penyakit seperti Parkinson berada pada area olfactory di otak, jauh sebelum menjangkiti area lainnya. Hal ini diperkirakan menjadi alasan mengapa Smith kehilangan daya penciuman 18 tahun sebelum mengalami tremor pertamanya.

Sebuah tes penciuman yang akurat boleh jadi mengidentifikasi penyakitnya hampir dua dekade sebelum diagnosis resmi muncul, dan itu bisa memberikannya banyak waktu untuk memperlambat laju penyakit.

Sejumlah kalangan kini mengembangkan tes yang bisa menggunakan penciuman demi membantu diagnosa penyakit-penyakit saraf degeneratif.

Salah satunya diupayakan Predict-PD. Menurut Alastair Noyce, selaku dosen senior bidang medis dari Queen Mary University of London yang memimpin proyek ini, mereka telah mengembangkan tes kecil bernama Scratch and Sniff.

Tes ini menghadirkan enam aroma kepada pasien. Keenam aroma itu diambil dari 40 bebauan yang lazim beredar sepanjang hari.

Mereka mengharapkan data yang dikumpulkan bisa dipakai untuk memprediksi individu mana yang berpotensi mengidap Parkinson, sehingga individu tersebut dapat menjalani pengobatan secara dini guna melambatkan atau mencegah penyakit Parkinson berkembang.

Sekitar 0,45-3,4 persen individu (tergantung tesnya) tampak tidak sadar kehilangan daya penciuman, alat seperti Predict-PD dapat membantu khalayak mengetahuinya.

Masalahnya, tes semacam ini tergolong mahal. "Tes penciuman yang standar rata-rata seharga £25 (hampir Rp 500.000), tapi hanya beberapa sen untuk membuatnya," kata Noyce.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com