Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Data dari Satelit dan AI Bisa Prediksi Wabah Kolera, Begini Caranya

Kompas.com - 28/02/2021, 18:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Para ilmuwan telah menemukan cara untuk memprediksi wabah kolera dengan menggunakan kombinasi satelit perubahan iklim dan kecerdasan buatan.

Ahli berharap, pada akhirnya teknologi akan menyelamatkan orang-orang yang tinggal di daerah yang terkena dampak parah.

"Ini cukup mengesankan karena kita dapat mengukur 'denyut nadi' planet ini," kata Dr Paolo Cipollini, dari badan ruang angkasa eropa, European Space Agency (ESA).

"Anda tidak akan berpikir tentang ruang angkasa dan satelit untuk mengatasi masalah kesehatan, tetapi ini adalah hal yang kini diterima secara lebih luas."

Baca juga: Teknologi AI Ini Diklaim bisa Deteksi Covid-19 di Paru-paru

Studi tersebut menunjukkan bagaimana wabah kolera di wilayah pesisir India dapat diprediksi dengan tingkat keberhasilan 89 persen.

Tim dari ESA dan Plymouth Marine Laboratory (PML) mengumpulkan data satelit lingkungan yang ada selama delapan tahun dan dengan menggunakan kecerdasan buatan, mereka membuat model yang memperkirakan di mana kemungkinan penyebaran kolera.

Kolera adalah penyakit yang ditularkan melalui air, yang disebabkan oleh makanan atau air minum yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholerae.

Penyakit ini ditemukan di wilayah pesisir dunia, terutama di daerah tropis yang padat penduduk.

Sekitar setengah dari kasus kolera berasal dari negara-negara yang berbatasan dengan Samudra Hindia bagian utara, termasuk India, tempat yang dipelajari khusus oleh para peneliti.

Menganalisis perubahan di air

Mereka menggunakan tujuh pengukuran berbeda dari beberapa satelit luar angkasa untuk membuat prediksi.

Para ilmuwan mempelajari perubahan pada air asin hangat, tempat bakteri berkembang biak, serta peningkatan plankton tempat bakteri dapat menempel.

Mereka juga mengukur faktor-faktor seperti gelombang panas, tempat orang menikmati air untuk bersantai, atau curah hujan, yang dapat mencampur air yang terkontaminasi dan yang tidak.

 

Peneliti ESA memprediksi wabah kolera dari luar angkasa. Para peneliti menggunakan tujuh pengukuran berbeda dari beberapa satelit ruang angkasa untuk membuat model prediksi mereka.ESA via BBC Indonesia Peneliti ESA memprediksi wabah kolera dari luar angkasa. Para peneliti menggunakan tujuh pengukuran berbeda dari beberapa satelit ruang angkasa untuk membuat model prediksi mereka.

"Yang unik dalam penelitian kami adalah berbagai variabel yang digunakan," kata peneliti Amy Campbell, yang bekerja dengan ESA dan PML untuk membuat model prediksi.

"Salah satu variabel, tingkat keasinan air, benar-benar baru dan sangat membantu dalam memprediksi wabah kolera.

"Idealnya, jika kami dapat menggunakannya untuk memahami kapan wabah kolera akan terjadi, kita dapat memastikan layanan disiapkan dan Anda dapat menguranginya dengan program vaksin di daerah tertentu dan mengatasinya."

Lebih banyak wabah

Para ilmuwan mengatakan perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem menyebabkan lebih banyak wabah kolera.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada hingga empat juta kasus kolera setiap tahun dan hingga 143.000 orang meninggal akibat penyakit menular ini.

Meskipun banyak orang memiliki gejala ringan, penyakit ini dapat menyebabkan diare parah dan membunuh seseorang dalam beberapa jam jika tidak ditangani.

"Sering kali anak-anak kecil yang paling rentan terhadap penyakit yang terkait dengan air, khususnya balita. Jadi kami berharap sistem prakiraan wabah kolera dapat ditingkatkan sehingga risiko anak-anak terpapar penyakit tersebut dapat dikurangi," kata Dr Marie-Fanny Racault, ilmuwan senior di PML.

Para ilmuwan menemukan bahwa perkiraan itu paling dapat diandalkan tepat sebelum monsun musim panas, dengan tingkat akurasi 93,3 persen.

Citra satelit Delta Gangga menunjukkan perubahan warna laut di Teluk Benggala karena sedimen dan faktor lainnya.ESA via BBC Indonesia Citra satelit Delta Gangga menunjukkan perubahan warna laut di Teluk Benggala karena sedimen dan faktor lainnya.

Tetapi mereka mengatakan perbaikan perlu dilakukan untuk meningkatkan keandalan prediksi ini dan memastikan layanan tidak dihentikan secara tidak perlu.

"Mungkin juga ada faktor sosial ekonomi yang sedikit mengacaukan hasil kami," kata Amy Campbell.

"Daerah tanpa sistem drainase yang memadai mungkin mengalami peningkatan kolera, terlepas dari perubahan iklim."

Dampak ekonomi dari penyakit lain seperti Covid-19 telah mengajarkan pemerintah pentingnya prediksi penyakit yang akurat.

Baca juga: Tes Covid-19 Berbasis AI, Ahli Sebut Tak Bisa Gantikan Metode saat Ini

Program prediksi kolera berbasis ruang angkasa ini belum diuji di daerah lain selain India, tetapi para ilmuwan berharap ini akan menjadi titik awal yang baik untuk meningkatkan prediksi yang berpotensi menyelamatkan nyawa di masa depan.

"Kita akan melihat semakin banyak penggunaan observasi bumi untuk kepentingan masyarakat, termasuk penyebaran penyakit dan dampak perubahan iklim terhadap penyakit," kata Dr Paolo Cipollini.

"Ini penting karena orang-orang yang akan terlindungi; itu memungkinkan kita mengambil tindakan yang akan menguntungkan beberapa populasi termiskin," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com