Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Mengubah Paradigma Rehabilitasi Lahan di Indonesia

Kompas.com - 26/02/2021, 18:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Sugeng Budiharta

BERBAGAI kejadian bencana di Indonesia, misalnya banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seringkali dihubungkan dengan keberadaan lahan kritis dan hutan yang rusak (Kompas, 19/01/2021). Diperkirakan, luas lahan dan hutan yang kritis saat ini mencapai 15-24 juta hektar, atau setara dua kali luas Pulau Jawa.

Berbagai upaya rehabilitasi telah dilakukan, namun belum mampu mengurangi secara signifikan luas lahan dan hutan yang terdegradasi, yang diperkirakan membutuhkan waktu hampir 70 tahun untuk merehabilitasinya. Sepanjang tahun 2015-2019 saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengalokasikan anggaran sebesar 39 triliun rupiah untuk rehabilitasi lahan dan hutan seluas 5,5 juta hektar.

Butuh perubahan paradigma dan keterlibatan para pihak yang lebih luas dalam upaya memperbaiki lahan kritis tersebut.

Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem

Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikan tahun 2021-2030 sebagai Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem (UN Decade on Ecosystem Restoration).

Dekade Restorasi Ekosistem merupakan salah satu agenda untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2030. Tujuannya adalah melakukan restorasi secara masif terhadap ekosistem yang rusak dan terdegradasi untuk mitigasi perubahan iklim, mendukung penyediaan pangan dan air, dan melestarikan keanekaan hayati.

Pada deklarasi tersebut, PBB menetapkan target ambisius 350 juta hektar lahan terdegradasi dapat direstorasi hingga tahun 2030.

Deklarasi ini muncul tidak lama setelah keluarnya kajian IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services).

Kajian itu menyebutkan bahwa degradasi lahan telah merugikan lebih dari 3 miliar penduduk dan menurunkan produktivitas bruto global sebesar 10 persen per tahun karena hilang, berkurang atau terganggunya fungsi-fungsi ekosistem akibat dari degradasi lahan seperti kekeringan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.

Uniknya, degradasi lahan juga berhubungan dengan peningkatan konflik sosial sebesar 12 persen. Jika tidak tertangani, degradasi lahan bersama dengan perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan penurunan produktifitas pertanian 10 hingga 50 persen.

Mengapa Restorasi?

Restorasi berbeda dengan dua bentuk rehabilitasi yang selama ini jamak dilakukan, yaitu reboisasi dan penghijauan. Rehabilitasi dengan cara reboisasi dan penghijauan umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan papan dan sandang.

Restorasi mempunyai tujuan yang lebih besar. Tidak hanya untuk penyediaan bahan kebutuhan sandang, pangan dan papan, namun juga untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem, mulai dari menjadi habitat serangga penyerbuk untuk mendukung pertanian, pengaturan tata air dan iklim mikro, hingga mitigasi bencana banjir, longsor, dan kebakaran lahan.

Di tingkat teknis, reboisasi atau penghijauan berkutat pada penanaman jenis-jenis pohon untuk menghasilkan kayu. Seringkali, penanaman tersebut fokus pada beberapa jenis non-lokal, misalnya akasia, mahoni, sengon dan trembesi.

Di sisi lain, restorasi membutuhkan jenis-jenis tumbuhan yang sangat beragam untuk dapat mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem. Umumnya, jenis-jenis yang digunakan merupakan jenis tumbuhan lokal.

Misalnya, hasil kajian kami di LIPI menunjukkan bahwa keberadaan mata air berhubungan dengan adanya tumbuhan jenis-jenis tertentu dari kelompok pohon ara atau beringin. Jenis-jenis tersebut, dengan tajuk dan perakaran yang khas, tidak hanya berfungsi menyimpan air, namun juga dapat mencengkeram tanah dan menahan air hujan sehingga mengurangi resiko longsor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com