Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengubah Paradigma Rehabilitasi Lahan di Indonesia

Oleh: Sugeng Budiharta

BERBAGAI kejadian bencana di Indonesia, misalnya banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seringkali dihubungkan dengan keberadaan lahan kritis dan hutan yang rusak (Kompas, 19/01/2021). Diperkirakan, luas lahan dan hutan yang kritis saat ini mencapai 15-24 juta hektar, atau setara dua kali luas Pulau Jawa.

Berbagai upaya rehabilitasi telah dilakukan, namun belum mampu mengurangi secara signifikan luas lahan dan hutan yang terdegradasi, yang diperkirakan membutuhkan waktu hampir 70 tahun untuk merehabilitasinya. Sepanjang tahun 2015-2019 saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengalokasikan anggaran sebesar 39 triliun rupiah untuk rehabilitasi lahan dan hutan seluas 5,5 juta hektar.

Butuh perubahan paradigma dan keterlibatan para pihak yang lebih luas dalam upaya memperbaiki lahan kritis tersebut.

Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem

Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikan tahun 2021-2030 sebagai Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem (UN Decade on Ecosystem Restoration).

Dekade Restorasi Ekosistem merupakan salah satu agenda untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2030. Tujuannya adalah melakukan restorasi secara masif terhadap ekosistem yang rusak dan terdegradasi untuk mitigasi perubahan iklim, mendukung penyediaan pangan dan air, dan melestarikan keanekaan hayati.

Pada deklarasi tersebut, PBB menetapkan target ambisius 350 juta hektar lahan terdegradasi dapat direstorasi hingga tahun 2030.

Deklarasi ini muncul tidak lama setelah keluarnya kajian IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services).

Kajian itu menyebutkan bahwa degradasi lahan telah merugikan lebih dari 3 miliar penduduk dan menurunkan produktivitas bruto global sebesar 10 persen per tahun karena hilang, berkurang atau terganggunya fungsi-fungsi ekosistem akibat dari degradasi lahan seperti kekeringan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.

Uniknya, degradasi lahan juga berhubungan dengan peningkatan konflik sosial sebesar 12 persen. Jika tidak tertangani, degradasi lahan bersama dengan perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan penurunan produktifitas pertanian 10 hingga 50 persen.

Mengapa Restorasi?

Restorasi berbeda dengan dua bentuk rehabilitasi yang selama ini jamak dilakukan, yaitu reboisasi dan penghijauan. Rehabilitasi dengan cara reboisasi dan penghijauan umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan papan dan sandang.

Restorasi mempunyai tujuan yang lebih besar. Tidak hanya untuk penyediaan bahan kebutuhan sandang, pangan dan papan, namun juga untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem, mulai dari menjadi habitat serangga penyerbuk untuk mendukung pertanian, pengaturan tata air dan iklim mikro, hingga mitigasi bencana banjir, longsor, dan kebakaran lahan.

Di tingkat teknis, reboisasi atau penghijauan berkutat pada penanaman jenis-jenis pohon untuk menghasilkan kayu. Seringkali, penanaman tersebut fokus pada beberapa jenis non-lokal, misalnya akasia, mahoni, sengon dan trembesi.

Di sisi lain, restorasi membutuhkan jenis-jenis tumbuhan yang sangat beragam untuk dapat mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem. Umumnya, jenis-jenis yang digunakan merupakan jenis tumbuhan lokal.

Misalnya, hasil kajian kami di LIPI menunjukkan bahwa keberadaan mata air berhubungan dengan adanya tumbuhan jenis-jenis tertentu dari kelompok pohon ara atau beringin. Jenis-jenis tersebut, dengan tajuk dan perakaran yang khas, tidak hanya berfungsi menyimpan air, namun juga dapat mencengkeram tanah dan menahan air hujan sehingga mengurangi resiko longsor.

Jika reboisasi bersifat kehutanan-sentris dalam lingkup yang sempit, restorasi bersifat ekosistem-sentris dan menyangkut kepentingan publik yang lebih luas.

Mengarus-utamakan restorasi

Adanya deklarasi Dekade Restorasi PBB memberikan momentum untuk mengarus-utamakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh KLHK namun dengan lingkup yang lebih luas.

Dengan pendekatan restorasi, upaya-upaya rehabilitasi lahan terdegradasi bukan hanya menjadi tanggung jawab KLHK dan difokuskan pada tujuan kehutanan semata, namun perlu melibatkan pihak-pihak lain untuk tujuan mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem demi kepentingan publik.

Dibentuknya lembaga khusus Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak tahun 2016 merupakan permulaan yang bagus dalam menyongsong Dekade Restorasi Ekosistem. Badan ini bertugas untuk merestorasi ekosistem gambut terdegradasi seluas dua juta hektar selama lima tahun sehingga dampak gambut yang terdegradasi, seperti bencana kebakaran lahan dan kabut asap parah yang terjadi tahun 2015, dapat dimitigasi.

Kini, BRG juga ditugasi untuk merestorasi lahan kritis di areal mangrove yang luasannya mencapai 637.000 hektar (Kompas, 01/02/2021). Untuk tahun 2021 ini saja, pemerintah menargetkan restorasi mangrove seluas 150.000 hektar.

Selain lembaga-lembaga pemerintah, restorasi ekosistem perlu keterlibatan masyarakat, industri, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan baru.

Upaya-upaya restorasi ekosistem yang melibatkan masyarakat dapat dikombinasikan dengan tujuan sosial-ekonomi.

Suatu contoh, studi kami yang diterbitkan jurnal Environmental Science and Policy tahun 2016 memperlihatkan bahwa restorasi dapat dikembangkan melalui sistem agroforestry dengan beragam jenis tanaman multi-strata berbasis pengetahuan lokal untuk memperbesar peluang keberhasilan karena keberterimaan oleh masyarakat setempat.

Upaya tersebut dapat digabungkan dengan program perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintah.

Pelibatan pihak swasta dan industri dalam restorasi ekosistem dapat dilakukan melalui mekanisme ganti rugi lingkungan (offsetting). Melalui mekanisme ini, pihak swasta dan industri dapat melakukan restorasi untuk membayar kompensasi atas fungsi-fungsi ekosistem yang rusak atau hilang akibat kegiatan operasional usaha mereka.

Penelitian kami di jurnal Global Environmental Change tahun 2018 memberikan gambaran peluang restorasi melalui skema offsetting oleh pihak swasta, misalnya industri kelapa sawit, pertambangan, energi dan sektor ekstraktif lainnya, dengan menghitung fungsi ekosistem yang hilang dan kalkulasi luasan yang direstorasi untuk membayar kehilangan tersebut.

Namun demikian, karena mekanisme ini relatif baru, diperlukan kajian-kajian lebih mendalam sebagai dasar penyusunan kebijakan, dan acuan manajemen dan teknis pelaksanaannya.

Akademisi, peneliti dan LSM dapat berkontribusi pada penggalian dan penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi terkait restorasi ekosistem. Agar dapat diterapkan, penggalian ilmu pengetahuan tersebut perlu dilakukan secara multi-disiplin dengan melibatkan berbagai bidang ilmu mulai dari ekologi, sosial-budaya hingga ekonomi.

Memperbaiki lahan dan hutan terdegradasi di Indonesia memerlukan perubahan pola pikir dan pendekatan-pendekatan baru. Paradigma restorasi memberikan peluang untuk mencapai target nasional selain juga berkontribusi pada agenda PBB.

Sugeng Budiharta

Peneliti LIPI & IPBES Fellow

https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/26/180400123/mengubah-paradigma-rehabilitasi-lahan-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke