Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Urgensi Literasi Iptek

Kompas.com - 04/08/2020, 20:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Setelah itu menyusul para ilmuwan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekakayaan nusantara demi kapital mereka.

Kegiatan ilmiah di Indonesia diawali pada abad ke-16 oleh Jacob Bontius yang mempelajari flora Indonesia dan Rompius dengan karyanya yang terkenal berjudul Herbarium Amboinese. Pada akhir abad ke-18, dibentuk Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen. Dalam tahun 1817, C.G.L. Reinwardt mendirikan Kebun Raya Indonesia (S'land Plantentuin) di Bogor.

Pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Natuurwetenschappelijk Raad voor Nederlandsch Indie. Kemudian tahun 1948 diubah menjadi Organisatie voor Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan Alam, yang dikenal dengan OPIPA). Akhirnya tahun 1967 menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1967.

Pada tahun 1858 Alfred Russel Wallace mengunjunga nusantara. Catatan perjalanannya (logbook) dituangkan dalam buku The Malay Archipelago (1869).

Dalam buku ini, ditemukan nama-nama flora dan fauna Nusantara dalam nama ilmiahnya, lengkap dengan kedudukan spesies tersebut dalam taksonomi. Persebarannya pun dijabarkan secara terperinci, lengkap dengan perkiraan perubahan lempeng bumi dan masa geologisnya. Wallace juga menggambarkan fenomena mimikri pada beberapa spesies serangga dan burung.

Adakah ilmuwan kita yang memiliki logbook sebagus yang dibuat Wallace?

Sayang, yang terwarisi dari penjajah hanyalah budaya politik, birokrasi, dan feodalismenya bukan spirit saintifiknya. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, perhatian negara terhadap pembangunan literasi iptek masih kurang.

Hal ini tercermin dari prioritas pembangunan dari rezim ke rezim. Setelah 75 tahun merdeka. anggaran riset baru 0,25 persen dari PDB.

Sehingga ada anekdot, bangsa lain sedang berlomba mengeksplorasi bulan, tapi kita tidak bergeming karena ilmuwan Indonesia sudah terbiasa hidup merana di tengah bulan, bahkan terbiasa bertahan hidup dari bulan ke bulan—karena gajinya kecil.

Semua negara-negara besar memiliki proyek-proyek iptek ambisius dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, energi terbarukan, dan antarikasa. Tentu saja bukan hanya pamer kekutan iptek, yang lebih penting adalah mengajak, mendorong, dan mengarahkan pola pikir masyarakatnya supaya berbudaya ilmiah.

Hari ini kita dibuat kagum sekaligus tidak berdaya oleh China yang agresif dalam perdagangan dan teknologi. China bisa maju seperti itu karena sejak lima belas tahun yang lalu menjadikan scientific literacy (literasi ilmiah) sebagai program negara yang secara serius dilaksanakan secara terstruktur, sistematis, dan massif.

Tanpa membangun budaya literasi iptek, bangsa kita mustahil akan menjadi bangsa maju. LIPI sebagai lembaga riset terbesar di Indonesia sangat potensial untuk menjadi lokomotif dalam proyek ini. LIPI memiliki semua sumber daya yang diperlukan— ilmuwan terbanyak dan infrastruktur riset terlengkap.

Tujuan utama pembangunan budaya literasi Iptek adalah untuk membangun sikap atau karakter ilmiah (scientific attitude). Supaya masyarakat Indonesia terbiasa: berpikir rasional; mengambil keputusan secara objektif yang didasarkan kepada fakta dan data; berbicara dan bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan; menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan; dan selalu melahirkan gagasa-gagasan baru secara produktif.

Berlimpahnya kekayaan alam ternyata tidak menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, bahkah berbalik menjadi kutukan sumber daya atau paradoks keberlimpahan. Itu terjadi karena bangsa kita abai terhadap pembangunan budaya iptek. Akhirnya bangsa kita menjadi bangsa “berbudaya” akan tetapi tidak berdaya.

Sebagaimana cerita Malin Kundang, apabila tidak mentrasformasi diri menjadi masyarakat berbasis iptek, Indonesia pun akan dikutuk menjadi “batu”, benda mati yang tidak bisa berkembang, malah bisa hilang ditelan bumi (sirna ilang kertaning bumi).

Suherman

Analis Data dan Informasi Sains, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com