KOMPAS.com- Konsumsi rokok dianjurkan untuk berhenti karena tidak hanya berkaitan dengan kesehatan penggunanya saja, melainkan juga berpengaruh terhadap kondisi yang memperparah urusan ekonomi atau kemiskinan.
Ironisnya, konsumsi rokok di Indonesia ternyata presentasi tinggi dilakukan oleh kelompok pendapatan rendah.
Berdasarkan jenis pekerjaannya, terdata yang proporsi perokok tertinggi adalah nelayan mencapai 70,4 persen dan petani atau buruh 46,1 persen.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat dalam Draft Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Teknokraktik 2020-2024, Pungkas Bahjuri Ali.
Baca juga: Perokok Anak Meningkat, Pemerintah Perlu Perketat Pengendalian Rokok
Menurut Pungkas, jenis rokok kretek-filter merupakan pengeluaran terbesar pada rumah tangga miskin setelah beras.
"Bahkan, lebih tinggi dibanding untuk belanja protein misal telur, daging, susu dan kebutuhan kesehatan lainnya," kata Pungkas dalam diskusi bertajuk Upaya Advokasi Kebijakan Berbasis Data Guna Melindungi Anak dan Remaja Jadi Target Industri Rokok, Rabu (17/6/2020).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, menunjukkan rincian perbandingannya pengeluaran anggaran untuk konsumsi merokok adalah seperti berikut.
Baca juga: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO Ingatkan Rokok Memperparah Risiko Infeksi Covid-19
Padahal, kata Pungkas, dengan mengonsumsi rokok ini penduduk kategori ekonomi bawah atau miskin ini rentan pada berbagai kondisi atau situasi lebih buruk lainnya, seperti berikut.
1. Rentan penyakit katastropik
Seperti diketahui, mengonsumsi rokok tidak secara seketika dapat membuat seseorang mengalami sakit pada fisiknya.
Akan tetapi, seiring berjalan waktu dan proporsi merokok terus dilakukan bahkan meningkat. Inilah yang berpotensi dan berisiko tinggi mendapatkan penyakit katastropik.