Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manusia Lockdown, Satwa Liar Terancam Perdagangan Ilegal

Kompas.com - 24/05/2020, 10:03 WIB
Yohana Artha Uly,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

Sumber BBC

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar negara di dunia menerapkan penutupan wilayah (lockdown), untuk memutus rantai penularan dari virus corona baru yang telah menginfeksi lebih dari 5 juta orang di dunia.

Menariknya, lockdown membuat terjadi fenomena di mana hewan-hewan liar dengan bebas berlalu-lalang di jalanan yang sepi dari kendaraan, atau di tempat-tempat yang sepi dari aktivitas manusia.

Seolah-olah menunjukkan manusia yang sedang beristirahat kini memberikan kesempatan bagi para hewan untuk hidup bebas, setelah selama ini wilayahnya semakin mengecil karena aktivitas manusia.

Baca juga: Pandemi Corona Tekankan Pentingnya Regulasi Perdagangan Satwa Liar

Sayangnya, fenomena menarik itu hanya terjadi pada kota-kota di negara maju, tidak untuk desa-desa di negara miskin. Lockdown membuat sebagian penduduk desa di negara miskin mengambil langkah ekstrem, berburu hewan liar demi kelangsungan hidup.

Penutupan wilayah memberikan dampak buruk bagi perekonomian rakyat kecil yang hanya bergantung pada pendapatan harian. Ini membuat mereka tak punya pilihan, harus melakukan cara apapun demi bertahan, termasuk berburu satwa liar.

"Apa yang kami saksikan adalah dampak luar biasa pada alam karena jutaan orang tiba-tiba menganggur. Di tempat-tempat seperti Asia Tenggara, ada migrasi besar-besaran dari kota ke desa di mana orang telah kehilangan pekerjaan hanya dalam semalam. Mereka sekarang harus bergantung pada perburuan, penebangan, atau kegiatan lain yang merusak alam, karena mereka tidak punya pilihan lain," kata Joseph Walston, Kepala Konservasi Global di Wildlife Conservation Society, New York, AS seperti dilansir dari BBC, Jumat (22/5/2020).

Baca juga: Sisi Lain Lockdown Corona, Bumi Kembali Jadi Surga bagi Hewan Liar

Menurut laporan Conservation International, di Kenya dan bagian lain Afrika serta Kamboja terjadi lonjakan perburuan liar. Salah satu pendorongnya adalah tantangan yang dihadapi orang dalam mencari kebutuhan untuk mengisi perutnya.

Hewan-hewan yang terancam diburu bukan hanya untuk kebutuhan makanan, tetapi juga untuk mengambil bagian tubuh yang bisa dijual guna menambah pundi-pundi keuangan. Seperti, badak yang diburu karena tanduknya yang bernilai jual.

Kebijakan pembatasan perjalanan internasional yang diterapkan oleh negara-negara mungkin telah menghambat perdagangan satwa liar lintas batas, tetapi juga meninggalkan hewan di alam liar dengan perlindungan yang jauh lebih longgar.

Baca juga: Eksploitasi Satwa Liar dapat Tingkatkan Transmisi Virus ke Manusia

Menurut Wildlife Justice Commission, pemburu telah melihat penutupan taman nasional, pengalihan penegakan hukum untuk tugas-tugas terkait Covid-19, dan mengurangi patroli penjagaan, sebagai peluang ideal untuk melakukan eksploitasi.

Berkurangnya kunjungan turis ke taman nasional juga meningkatkan risiko perburuan liar. Lantaran turis selama ini, secara tak langsung, telah menjadi pihak yang peduli terhadap taman nasional.

"Kami menerima informasi bahwa kelompok perburuan gelap yang beroperasi di selatan Afrika berniat mengambil keuntungan dari situasi saat ini," kata Sarah Stoner, Direktur Intelijen Wildlife Justice Commission.

Perlunya Intervensi Ekonomi

Saat ini penyebaran grone dengan teknologi pencitraan termal adalah salah satu solusi yang diusulkan untuk memantau ekosistem dari tanda-tanda perburuan liar atau pembalakan liar.

Selain itu dilakukan juga peningkatan penggunaan teknologi lain, seperti Postcode Meerkat, yang menggunakan radar dan kamera siang-malam untuk melacak aktivitas ilegal dari manusia di Taman Nasional Kruger Afrika Selatan.

Semua teknologi itu memang dapat membantu melakukan pemantauan, tapi tidak sepenuhnya dapat mencegah terjadinya eksploitasi alam terutama di tengah kondisi banyaknya orang yang menganggur dan kelaparan.

Baca juga: Bukti Pertama Kemampuan Hewan Liar Berkomunikasi dengan Manusia Ditemukan

Wakil Presiden Senior Conservation International’s Africa Field Division, Michael O'Brien-Onyeka bilang, untuk menghindari perusakan besar-besaran terhadap satwa liar, diperlukan intervensi langsung dalam hal ekonomi sebagai langkah jangka pendek. Seperti bantuan langsung tunai atau pemberian paket-paket sembako ke daerah perdesaan.

Dalam jangka panjang, penting untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian para penduduk perdesaan, terlebih pada daerah yang mengandalkan pemasukan dari ekowisata.

Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan setelah diselamatkan di kota Qingdao, provinsi Shandong China Timur, 14 September 2017.

Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan terlihat di Qingdao, provinsi Shandong di China Timur, Kamis (14 September 2017). Trenggiling wanita sepanjang satu meter diselamatkan oleh warga setempat dan diserahkan ke asosiasi penyelamatan satwa liar di Qingdao. Hewan ini dalam keadaan sehat dan akan dikirim kembali ke rumahnya di alam sesegera mungkin. REUTERS/Xue hun Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan setelah diselamatkan di kota Qingdao, provinsi Shandong China Timur, 14 September 2017. Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan terlihat di Qingdao, provinsi Shandong di China Timur, Kamis (14 September 2017). Trenggiling wanita sepanjang satu meter diselamatkan oleh warga setempat dan diserahkan ke asosiasi penyelamatan satwa liar di Qingdao. Hewan ini dalam keadaan sehat dan akan dikirim kembali ke rumahnya di alam sesegera mungkin.

Meski demikian, intervensi ekonomi perlu dilakukan dengan hati-hari dan cermat. Jangan sampai anggaran yang seharusnya untuk kebutuhan lingkungan malah dialihkan untuk kebutuhan sosial. Ini akan buruk dampaknya pada lingkungan kedepan.

Contoh yang baik dari penyelesaian persoalan sosial dan lingkungan secara bersamaan adalah proyek karbon REDD+ Bukit Chyulu di Kenya. Pendapatan dari hasil penjualan kredit karbon menjadi tumpuan bagi masyarakat setempat saat kegiatan ekowisata, yang menjadi mata pencaharian mereka, ditutup sementara.

Baca juga: Madagaskar Penuh Hewan Aneh Sejak 66 Juta Tahun Lalu, Fosil Ini Buktinya

Sekedar diketahui, karbon kredit dijual kepada pihak pebisnis di dunia yang selama ini melepaskan karbon dalam jumlah besar sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.

Pendapatan proyek saat ini menyediakan lapangan kerja, di antaranya pada 24 penjaga hutan yang melindungi area 4.000 kilometer persegi. Selain itu, juga mendorong pengadaan infrastruktur desa.

Lalu ada hutan Alto Mayo di Peru, di mana sejak 2010 proyek karbon telah mengurangi 75 persen penebangan hutan secara ilegal. Selama periode yang sama, Conservation International bekerja dengan masyarakat setempat untuk meningkatkan produksi pohon kopi dan membantu memperoleh perdagangan yang adil, serta sertifikasi organik.

Ketika Covid-19 menahan ekspor kopi mereka, pendapatan dari kredit karbon dapat memastikan masyarakat sekitar bisa tetap bekerja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Baca juga: Alasan Mendasar Kenapa Virus Corona Covid-19 Bukan Buatan Manusia

Solusi jangka panjang lainnya untuk melindungi satwa liar adalah membantu masyarakat pedesaan untuk mampu meningkatkan teknik pertaniannya, sehingga memastikan bahwa mereka bisa menghadapi guncangan ekonomi, seperti yang disebabkan oleh pandemi.

Di wilayah yang berbatasan dengan Taman Nasional Kruger, Conservation International dan mitranya telah bekerja dengan para penggembala untuk meningkatkan pengelolaan ternak. Sehingga ternak yang dihasilkan lebih gemuk dan sehat, serta bernilai jual yang tinggi.

Di hutan Afrika tengah dan bagian lain dunia, Wildlife Conservation Society bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan mitra lainnya untuk mengeksplorasi cara-cara meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kebutuhan untuk berburu daging hewan liar.

Hal itu dilakukan dengan beternak ayam di halaman belakang rumah penduduk. Tak hanya menghasilkan daging tapi juga telur yang bernilai jual.

"Penelitian juga menunjukkan bahwa ketika harga unggas desa sebanding atau lebih rendah daripada daging hewan liar, konsumen lebih suka membeli dan makan ayam," kata Katherine Kreis, Direktur Inisiatif Strategis PATH, oraganisasi nirlaba tentang kesehatan masyarakat nirlaba.

Risiko Kesehatan Akibat Hewan Liar

Peningkatan perburuan liar selama masa lockdown tidak hanya menarik perhatian terkait dampak pada keberlangsungan hidup satwa liar, kondisi lingkungan, dan perekonomian. Tetapi juga mengkhawatirkan karena berpotensi membuat terjadi kembali pandemi di masa depan.

Habitat alam semakin berkurang dari waktu ke waktu karena kepentingan manusia dalam bisnis dan ekonomi. Membuat antar spesies binatang semakin hidup berdekatan, begitu pula dengan manusia. Ekosistem yang telah dirusak ini pun berisiko menimbulkan virus dari hewan yang akhirnya menemukan inang baru yakni manusia.

"Kita telah kehilangan 60 persen dari semua satwa liar dalam 50 tahun terakhir, sementara jumlah penyakit menular baru telah meningkat empat kali lipat dalam 60 tahun terakhir. Bukan kebetulan bahwa perusakan ekosistem telah bertepatan dengan peningkatan tajam pada penyakit seperti itu, ” kata Marie Quinney, seorang spesialis dalam World Economic Forum’s Nature Action Agenda.

Baca juga: Pandemi Virus Corona, Ahli Konservasi Desak WHO Tutup Pasar Hewan Liar

Untuk mencegah agar tidak terjadi pandemi di masa depan, Joe Walston dari Wildlife Conservation Society menyatakan, bahwa penting untuk menutup perdagangan satwa liar yang sama sekali tidak perlu untuk konsumsi manusia. Terlebih perburuan untuk menjadikan bagian tubuh hewan liar sebagai koleksi barang mewah.

Menurutnya, menangani perburuan liar dan menjual hewan liar untuk makanan harus menjadi bagian dari upaya global. Terlebih China, sebagai negara pandemi Covid-19 berasal, harus memperkuat regulasi tentang pelarangan memburu dan mengonsumsi hewan liar.

Kelelawar hitam (paniki) termasuk jenis satwa liar yang paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara. dok BBC Indonesia Kelelawar hitam (paniki) termasuk jenis satwa liar yang paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara.

Seperti diketahui, terdapat pasar yang menjual hewan liar di Wuhan, China, yang di perkirakan virus corona baru itu berasal.

"Ini bukan tentang memfitnah China. Tapi ini tentang kita berkumpul dan membuat keputusan global bahwa perdagangan hewan liar sekarang ini sudah kuno," kata dia.

Menurut Watson, dunia dengan era masa kini, di mana teknologi mampu membuat seseorang dapat membawa penyakit menular baru dari satu benua ke benua lain hanya dalam beberapa jam, tapi terus berdagang dan mengonsumsi hewan liar artinya dekat dengan bunuh diri massal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com