KOMPAS.com - Sebelum Indonesia, Jepang sudah lebih dulu mengonfirmasi kasus pertama Covid-19. Kendati demikian, jumlah kasus dan kematian akibat pandemi Covid-19 terbilang rendah.
Menurut data worldmeters, hingga siang ini Jepang telah mengonfirmasi 9.231 kasus Covid-19 dengan 190 kematian. Setidaknya tercatat ada 2 kematian per 1 juta penduduk.
Lantas apa yang dilakukan oleh negeri matahari terbit dalam dalam menangani wabah Covid-19?
Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Budianto, MA, mengatakan bahwa Jepang tidak menerapkan lockdown atau karantina wilayah seperti beberapa negara lain.
Baca juga: Korea Selatan Sukses Tangani Corona, Ternyata Belajar dari Wabah MERS
Disebutkan Firman, setidaknya ada tiga pilar utama yang diberlakukan Jepang dalam melawan pandemi ini.
1. Deteksi dini kelompok rentan
Jepang tidak menerapkan pengujian atau tes sampel secara masif atau masal kepada warga negaranya. Jepang justru memilah atau mendeteksi dini kelompok rentan terpapar Covid-19.
Deteksi dini yang dilakukan adalah pada kelompok rentan, yang sudah pernah kontak erat dengan pasien dan terlebih punya penyakit penyerta.
Deteksi dini kelompok rentan juga dilakukan berkesinambungan dengan transparansi pemerintah terhadap data di mana pasien berasal. Sehingga masyarakat lainnya bisa melakukan waspada diri.
Selain itu, pengelompokan ini juga diberlakukan pada pasien positif Covid-19. Bagi mereka yang memiliki gejala tingkat keparahan tinggi atau termasuk kategori kritis, dan memiliki penyakit komorbit, maka pasien akan dirawat di rumah sakit.
"Fasilitas kesehatan hanya untuk kondisi kritis. Jadi tidak semua pasien di rawat," kata Firman dalam diskusi daring bertajuk Strategi Pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam Menghadapi Covid-19: Pembelajaran untuk Indonesia, Kamis (16/4/2020).
Sementara, pasien yang memiliki gejala ringan akan dirawat di hotel atau wisma khusus yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan ada pula yang bahkan dirawat di rumah masing-masing.
"Ini mencegah kematian tinggi, karena yang sakit parah menjadi prioritas, jadi yang kritis itu bisa terobati,"tutur dia.
2. Social conformity
Jepang tidak memberlakukan social distancing ataupun pshysical distancing, tetapi lebih menekankan kepada social conformity.