Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini Provinsi DKI Jakarta memiliki 650 tempat tidur ICU, Jawa Barat 925, Banten 256, Jawa Timur 1.058, Jawa Tengah 1.085, dan Sulawesi Selatan 440. Totalnya 4.414 unit.
Standar ideal pemanfaatan tempat tidur RS (BOR), menurut Kementerian Kesehatan, adalah 80%. Jika standar ini telah tercapai, maka diasumsikan kapasitas ICU RS untuk menampung lonjakan pasien COVID-19 tinggal tersisa maksimal 20%. Sebab penggunaan tempat tidur ICU selama ini juga telah digunakan oleh pasien yang bukan pasien coronavirus.
Adapun sekitar 2.400 kamar baru di rumah sakit darurat di Wisma Atlet Jakarta hanya untuk pasien bergejala ringan, sehingga tidak ada ruang ICU di sana.
Fakta ini menyebabkan layanan ICU untuk pasien COVID-19 menjadi benar-benar terbatas. Masalah ini diperburuk dengan kebutuhan ICU bagi pasien COVID-19 adalah ruang ICU khusus/isolasi untuk menghindari penularan kepada pasien lain.
Studi di Wuhan China menunjukkan rata-rata lama hari rawat pasien COVID di ICU adalah 8 hari. Studi lain juga di China, memperlihatkan hasil yang berbeda, antara 10-12 hari.
Dengan rata-rata jumlah hari rawat yang panjang ini, maka kemampuan ICU untuk dapat menampung pasien baru akan semakin berkurang.
Berdasarkan asumsi pemanfaatan tempat tidur ICU RS di 6 provinsi sebesar 80% (3.531 unit) dan data ketersediaan tempat tidur ICU, maka diproyeksikan kapasitas optimal ICU RS di enam provinsi tersebut untuk pasien COVID adalah 883 unit. Sementara pada 13 Mei ada 8.794 pasien COVID butuh ruang ICU.
Tidak seluruh pasien positif COVID harus dirawat di RS. Mestinya hanya yang parah yang dirawat di rumah sakit.
Saat ini angka kasus positif yang memerlukan perawatan kesehatan di RS pada berbagai negara dan studi masih bervariasi.
Hasil studi di Inggris, Italia dan Cina, menunjukkan persentase pasien yang memerlukan perawatan di RS dari total seluruh kasus positif berkisar 30%. Studi di Amerika Serikat memperlihatkan angka 38%.
Data di Jakarta per Maret 26 memperlihatkan statistik yang lebih besar: 61%.
Dari total pasien yang mendapat perawatan di RS, beberapa studi di Cina memperlihatkan hasil bahwa 26-32% dari mereka memerlukan perawatan ICU. Studi lain di Inggris menunjukkan persentase yang berbeda, yakni sebesar 30%.
Dalam pemodelan ini, saya menggunakan asumsi 61% pasien (27.481) positif - dari total pasien (54.278) dan dikurangi yang sembuh (8,3%) dan meninggal (8,7%) - butuh dirawat di RS, dengan 32 persen (8.794 pasien) di antaranya butuh ICU.
Selain tempat tidur ICU, kebutuhan ventilator bagi pasien COVID-19 juga harus diperhatikan.
Pada kasus COVID-19 dengan kasus berat, pasien menjadi sulit bernapas karena virus menimbulkan kerusakan pada paru-paru. Sistem imun tubuh mendeteksi hal ini, lalu pembuluh darah melebar agar sel imun masuk. Hal ini dapat menyebabkan cairan masuk paru-paru pasien sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan level oksigen tubuh merosot.
Saat seperti itulah, ventilator dibutuhkan pasien.
Walau Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pekan lalu mengklaim pemerintah telah mendistribusikan hampir 8.500 ventilator ke 2.867 RS seluruh Indonesia (mayoritas di Jawa), sampai saat ini tidak tersedia data terbuka lokasi ventilator khusus untuk pasien COVID di RS di enam provinsi tersebut.
Jika klaim ini benar, maka di setiap RS tersebut hanya punya 2-3 ventilator. Ini sangat jauh dari kebutuhan darurat.
Meski tidak ada data yang terbuka, jumlah ventilator yang ada saat ini di RS sangat terbatas. Sebagai gambaran, menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dari 661 ruang ICU di rumah sakit milik pemerintah, baru 50% yang memiliki ventilator.
Jumlah itu tentu tidak cukup mengingat ventilator tersebut selama ini juga telah digunakan oleh pasien non-COVID yang mengalami gangguan gagal nafas, jantung, sistem saraf, keracunan karbondioksida, gangguan keseimbangan asam basa, cedera berat, syok dan dalam pengaruh pembiusan total sehingga kehilangan kemampuan bernafas.