Catatan redaksi: WHO telah resmi menetapkan COVID-19 sebagai sebuah pandemi.
SETIAP orang sekarang membicarakan coronavirus.
Sebagai seorang ahli epidemiologi, saya tertarik ketika mendengar orang menggunakan istilah teknis — seperti karantina atau “super spreader” atau angka reproduktif – yang biasanya dipakai oleh saya dan kolega dalam pekerjaan sehari-hari.
Tapi saya juga mendengar pembaca berita dan tetangga mencampur-campur tiga kata penting: wabah, epidemi, dan pandemi.
Secara sederhana, perbedaan antara ketiga skenario penyebaran penyakit di atas adalah persoalan skala.
Kecil, tapi luar biasa.
Dengan menelusuri penyakit-penyakit sepanjang waktu dan wilayah geografis, para ahli epidemiologi mengetahui cara memprediksi berapa banyak kasus penyakit yang normalnya terjadi di dalam periode waktu, tempat, dan populasi tertentu.
Sebuah wabah adalah peningkatan jumlah kasus yang jelas terlihat, meski kecil, jika dibandingkan dengan jumlah “normal” yang diantisipasi.
Bayangkan apabila tiba-tiba jumlah anak kecil yang terkena diare meningkat di sebuah tempat penitipan anak. Satu atau dua anak sakit mungkin saja normal di hari-hari biasa, tapi jika 15 anak sekaligus menderita diare, ini berarti wabah.
Ketika sebuah penyakit baru muncul, wabah memang jadi lebih jelas terlihat karena jumlah kasus yang diantisipasi akibat penyakit itu masih kosong.
Satu contoh: klaster kasus pneumonia yang mencuat tak terduga di kalangan konsumen pasar di Wuhan, Cina. Pejabat kesehatan publik sekarang mengetahui bahwa peningkatan jumlah kasus pneumonia di sana merupakan wabah coronavirus tipe baru, yang kini diberi nama SARS-CoV-2.
Begitu otoritas kesehatan setempat mendeteksi adanya wabah, mereka langsung meluncurkan investigasi guna menentukan secara tepat siapa saja yang terdampak dan berapa banyak orang yang terkena penyakit.
Informasi itu kemudian digunakan untuk mencari tahu cara terbaik mengurung wabah dan mencegah bertambahnya penderita baru.
Lebih besar dan menyebar.
Epidemi adalah wabah yang menyebar di area geografis yang lebih luas. Ketika orang-orang di luar Wuhan mulai terdeteksi mengidap SARS-CoV-2 (yang menyebabkan penyakit bernama COVID-19), para ahli epidemiologi pun tahu bahwa wabah ini telah menyebar luas, yang menandakan bahwa upaya pengurungan tidaklah cukup atau sudah terlambat.
Ini bukan hal mengherankan, mengingat memang belum ada pengobatan atau vaksin yang tersedia. Tetapi penyebaran luas COVID-19 di seluruh Cina berarti bahwa wabah di Wuhan telah berkembang menjadi epidemi.
Internasional dan di luar kendali.
Dalam pengertian yang paling klasik, ketika sebuah epidemi menyebar ke beberapa negara atau wilayah di dunia, ia sudah dianggap pandemi.
Meski demikian, beberapa ahli epidemiologi mengklasifikasikan sebuah situasi sebagai pandemi hanya apabila penyakit itu berkembang di beberapa wilayah yang baru terdampak melalui penularan setempat.
Ilustrasinya begini. Apabila seorang turis Amerika yang terkena COVID-19 pulang dari Cina, maka itu belum pandemi. Tetapi ketika dia menulari beberapa anggota keluarga atau teman, maka ini pun masih jadi perdebatan (apakah pandemi atau bukan).
Tetapi jika timbul wabah baru setempat, maka para ahli epidemiologi akan setuju bahwa upaya mengendalikan penularan global telah gagal, dan menganggap perkembangan terkini sebagai sebuah pandemi.
Tidak cuma medis tapi juga politis
Pada dasarnya, yang dipedulikan ahli epidemiologi adalah pencegahan penyakit. Ini mungkin berbeda dengan yang dipedulikan pemerintah atau organisasi kesehatan internasional.
Saat tulisan ini dibuat, WHO mengklasifikasikan risiko penyebaran global COVID-19 sebagai “sangat tinggi,” yang merupakan level tertinggi dalam skema klasifikasi risiko yang mereka punya. Ini satu tingkat di bawah penetapan pandemi resmi.
Artinya, WHO masih berharap bahwa, dengan upaya agresif, wabah-wabah lokal masih dapat dikurung.
Tetapi saya dan para ilmuwan lain, serta pejabat kesehatan publik sudah menganggap situasi ini sebagai sebuah pandemi. Jumlah resmi penderita sudah melampaui 100 ribu kasus di hampir 100 negara, dan penularan masyarakat sudah terdapat di Amerika Serikat dan tempat lain.
Kalau mengacu pada definisi klasik, ini sudah pandemi.
Penetapan resmi COVID-19 atau penyakit menular lainnya sebagai sebuah pandemi akan mendorong pemerintah, badan terkait, serta organisasi bantuan di seluruh dunia untuk mengubah upaya pengurungan (containment) menjadi mitigasi.
Penetapan ini memiliki dampak terhadap sisi ekonomi, politik, dan masyarakat dengan skala global.
Meski demikian, penetapan resmi WHO tidak perlu membuat kita ketakutan atau buru-buru memborong masker. Ini bukan berarti virusnya makin menular atau tambah mematikan. Bukan pula berarti risiko Anda terkena penyakit ini makin meningkat.
Tapi ini akan menjadi sebuah kejadian bersejarah.
Rebecca S.B. Fischer
Assistant Professor of Epidemiology, Texas A&M University
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Apa bedanya pandemi, epidemi, dan wabah?". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.