Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah "Waste-to-Energy" adalah Solusi Sampah di Indonesia?

KOMPAS.com - Program pengubahan sampah menjadi energi, baik dari pemerintah maupun inisiatif masyarakat, semakin dimasifkan untuk menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.

Beberapa program yang umum dilakukan adalah pengomposan sampah organik, pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan co-firing PLTU dengan batu bara dari sampah.

Namun, saat ini, implementasi pemulihan energi menjadi sampah tidak lepas dari pro dan kontra.

Polemik ini terjadi karena di sisi lain, pemasifan skema sampah menjadi energi menimbulkan potensi dampak negatif berupa emisi gas karbon dioksida (CO2) secara signifikan. Hal ini bisa berakibat pada krisis iklim yang semakin parah.

Lantas, apakah konsep sampah menjadi energi bisa benar-benar jadi solusi?

Waste-to-Energy adalah inovasi

Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk memulihkan energi dari sampah. Pada sampah organik, pemulihan energi bisa dilakukan dengan pengomposan, dan produksi etanol dan metana dari hasil pembusukan sampah.

Sementara itu, insinerasi, produksi Refused Derived Fuel (RDF), pirolisis dan gasifikasi juga bisa digunakan untuk mengolah sampah anorganik menjadi energi.

Ranitya Nurlita, praktisi pengelolaan sampah dan pendiri Wastehub, menjelaskan bahwa sejatinya semua metode tersebut adalah inovasi. 

Waste-to-energy dapat berdampak baik ketika diiringi dengan perubahan perilaku masyarakat untuk terbiasa memilah sampah sebagai solusi dari akar masalah sampah. 

“Solusi dari awal (akar masalah) adalah pemilahan dari sumber. Karena mau model RDF, insinerasi, atau metode waste-to-energy yang lain itu (dilakukan), tapi mindset dari masyarakat gak diubah untuk memilah sampah, ya sama saja.

Jadi, sebenarnya solusi root cause (sampah) itu adalah perubahan perilaku dari masyarakat. Metode-metode pemulihan energi dari sampah dan sejenisnya itu hanyalah inovasi.” tuturnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/11/2023).

Solusi kunci masalah sampah

Hal ini sejalan dengan penjelasan Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) dalam Guidelines for National Waste Management Strategies (2013), yakni sampah seharusnya dikelola berdasarkan hirarki yang dimulai dengan pencegahan timbulnya sampah dan pemilahan sampah.

Pencegahan sampah dapat dilakukan oleh pihak produsen barang agar memproduksi barang yang mudah digunakan kembali sehingga dapat mencegah dihasilkannya sampah.

Adapun tahapan berikutnya, yakni pemilahan sampah dari sumbernya, adalah tahap kunci dari pengelolaan sampah.

Pemilahan sampah dari sumbernya dilakukan dengan memisahkan sampah berdasarkan jenis material ataupun kategori pengolahan sampah dari awal sampah dihasilkan, yakni setiap rumah atau tempat yang memproduksi sampah.

Manfaat memilah sampah

Sayangnya, pemilahan sampah umumnya masih dianggap remeh. Padahal, pemilahan sangat penting untuk keberhasilan penggunaan kembali sampah, pengomposan, dan daur ulang sampah.

Setidaknya ada dua manfaat utama dari pemilahan sampah dari sumber, yaitu

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam PP No. 81 Tahun 2012 mengatur pemilahan sampah ke dalam 5 kategori, yakni sampah mudah terurai, sampah bisa digunakan kembali, sampah bisa didaur ulang, dan sampah sisa.

5 kategori ini ditujukan untuk memudahkan pengumpulan dan pengangkutan sampah oleh pihak pengolah sampah yang sesuai.

Perilaku masyarakat yang harus berubah

“Waste-to-energy merupakan upaya mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah, bukan masalah energi. Energi yang dihasilkan dianggap sebagai bonus,” kata Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Edi Wibowo, dikutip dari laman resmi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KESDM, Rabu (14/12/2022). 

Pernyataan Edi tersebut diungkap dalam kegiatan Bioshare Series 9, Selasa (13/12/2022).

Dalam pedoman yang sama, UNEP juga menyebutkan bahwa pemulihan energi dari limbah yang dibuang memang dianggap lebih baik daripada semata-mata hanya pembuangan limbah saja.

Ini adalah bentuk usaha mengurangi jumlah sampah yang berdampak buruk pada lingkungan, tapi bukan bentuk penyelesaian masalah energi.

Maka itu, pada akhirnya metode pemulihan energi dari sampah tetap harus diiringi perubahan perilaku masyarakat. Sebab, metode ini justru relatif menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan ketika diimplemetasikan dalam jangka panjang.

Dilansir dari laman resmi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Selasa (23/4/2023), insinerator sebagai model dari konsep waste-to-energy dianggap bukan solusi yang tepat karena dampak lingkungan dan kesehatan dari gas rumah kaca, serta inefisiensi bahan bakar yang digunakan.

Selain itu, penggunaan insinerator secara terus-menerus dapat membuat ketergantungan masyarakat akan sampah sebagai sumber energi. Hal ini dapat menghambat inisiatif masyarakat untuk meminimalisasi dan mendaur ulang sampah.

https://www.kompas.com/sains/read/2023/11/07/120151223/apakah-waste-to-energy-adalah-solusi-sampah-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke