Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BRIN Sebut Radiofarmaka Bantu Diagnosis dan Terapi Penyakit, Alat Apa Itu?

KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, produk radiofarmaka dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan terapi penyakit.

Produk ini dinilai bermanfaat lantaran teknologi nuklir untuk kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit tidak menular yang semakin berkembang pesat.

Melansir laman resmi BRIN, Sabtu (20/8/2022) radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung radioisotop, dan memenuhi persyaratan farmakologis untuk digunakan dalam diagnosis, terapi, hingga penelitian medik klinik dalam ilmu kedokteran nuklir.

“Saat ini radiofarmaka sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Radiofarmaka dan metode pengujiannya memainkan peran penting dalam keberhasilan diagnosis dan terapi penyakit karena sifatnya yang spesifik ke target,” ujar Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri (PRTRRB) BRIN Tita Puspita Sari.

Menurutnya, potensi radioisotop untuk dikembangkan di PRTRRB sangat besar. Hal tersebut, kata dia, akan memperkuat riset dasar yang ada di hulu dan juga riset di hilir berupa uji klinis.

“Riset di hulu terkait radioisotopnya, diharapkan dapat menghasilkan radioisotop-radioisotop yang semakin beraneka ragam, bermacam-macam, sesuai dengan permintaan end user,” ungkap Tita.

Lantas, bagaimana radiofarmaka bisa membantu dalam mendiagnosis dan terapi penyakit?

BRIN menjelaskan, teknik deteksi radiofarmaka dapat dilakukan secara in vivo, maupun in vitro. Adapun in vivo adalah teknik deteksi di mana radiofarmaka diinjeksikan ke dalam tubuh pasien, kemudian dilakukan pencitraan pada tubuhnya.

Sedangkan in vitro adalah teknik deteksi dilakukan di luar tubuh, sampel berupa darah pasien yang diambil kemudian di tes menggunakan kit Radioimmunoassay (RIA) dengan prinsip immunologi.

Peneliti Ahli Muda PRTRRB, Rien Ritawidya menerangkan radioisotop merupakan isotop yang tidak stabil yang mana untuk mencapai kestabilannya harus mengemisikan suatu radiasi yaitu partikel berupa alpha, beta, positron, dan gamma.

“Partikel alpha dan beta bersifat pengion dapat merusak DNA sehingga menghasilkan sifat toxic. Atas dasar inilah partikel alpha dan beta dapat digunakan di bidang kesehatan untuk terapi atau penyembuhan suatu penyakit. Partikel positron dan gamma dapat digunakan untuk diagnosa,” paparnya.

Lebih lanjut, Rien berkata, radiofarmaka adalah obat radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir untuk diagnosis dan terapi berbagai macam penyakit.


Produksi radioisotop itu sendiri bisa menggunakan reaktor, siklotron maupun generator. Kelebihan radiofarmaka teranostik (terapi dan diagnostic) ialah mampu memprediksi respons pasien terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. 

“Sama halnya seperti obat, radiofarmaka juga harus memenuhi kualitas produk yang baik, memenuhi safety and efficacy, serta quality control radiofarmaka harus dilakukan dan harus sesuai kaidah Good Manufacturing Process, GMP atau Cara Pembuatan Obat yang Baik atau CPOB,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) - BRIN, Rohadi Awaludin menyampaikan bahwa pemanfaatan radioisotop dan radiofarmaka sudah banyak dikenal dan dimanfaatkan termasuk pada kanker, penyakit jantung dan sebagainya.

“PRTRRB memiliki potensi besar dalam mengembangkan radioisotop dan radiofarmaka, lebih tepatnya radiotracer," jelas Rohadi.

"Radiofarmaka merupakan bentuk tracer juga. Prinsipnya adalah sebuah senyawa tertentu yang memancarkan radiasi yang kemanapun bergerak bisa ditelusuri seperti perunut,” imbuhnya.

Rohadi berharap ke depannya jika PRTRRB mendapat kesempatan lebih baik di bidang infrastruktur, maka pemanfaatan radioisotop dan radiofarmaka akan semakin luas serta peran dan kontribusi PRTRRB semakin tinggi.

“Tantangan selanjutnya satu tahap lebih maju lagi, yaitu terkait kerja sama. Kerja sama yang sudah dijalin seperti dengan perguruan tinggi, rumah sakit, harus tetap dipelihara untuk membantu pengujian seperti uji pre klinis. Juga kerja sama dengan industri, sehingga kita tidak perlu lagi impor radiofarmaka,” terang Tita.

Kelebihan dan kekurangan metode RIA untuk diagnosis penyakit

Terkait metode Radioimmunoassay (RIA) untuk diagnosis in vitro, dikatakan oleh
Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Madya - PRTRRB BRIN, Agus Ariyanto, kelebihan teknik ini ialah lebih spesifik.

Sebab, dalam penerapannya menggunakan prinsip imunologi, sensitif, proses pengerjaannya relatif sederhana, serta ketepatannya tinggi.

Teknik RIA juga dapat digunakan sebagai skrining awal adanya kanker, misalnya saja tumor marker CA 15-3 untuk kanker payudara dan hepatitis B.

Kendati demikian, teknik RIA memiliki kelemahan, yaitu perkembangannya yang masih belum sampai ke otomatisasi.

Teknik tersebut juga masih kalah bersaing dengan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), karena regulasi dan laboratorium klinis untuk mengembangkan berbahan radioaktif ini membutuhkan biaya yang cukup besar.

Akibatnya, pihak swasta maupun rumah sakit tidak banyak yang tertarik mengembangkan teknik ini.

Laboratorium di Indonesia yang masih mengembangkan teknik RIA antara lain RSPAD, RS Hasan Sadikin dan RSPP.

“Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak dalam pengembangan radiofarmaka di masa yang akan datang, sehingga memungkinkan digunakan untuk deteksi penyakit maupun personal medicine,” tutur Agus.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/21/120500823/brin-sebut-radiofarmaka-bantu-diagnosis-dan-terapi-penyakit-alat-apa-itu-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke