Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Astronomi Tawarkan Solusi Penyatuan Kalender Islam

Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan hari raya merupakan problem yang sudah lama terjadi. Dulu perbedaan lebih disebabkan karena perbedaan ketampakan hilal yang berbeda antar-wilayah.

Namun kemudian ketika ilmu hisab (perhitungan) telah berkembang dan dijadikan rujukan dalam penentuan waktu ibadah oleh sebagian kalangan, maka kadang terjadi perbedaan antara hasil hisab dan hasil rukyat (pengamatan).

Perbedaan selalu menimbulkan ketidaknyamanan, terutama bila terjadi perbedaan pada idul fitri. Idul fitri bukan hanya peristiwa ibadah masal, tetapi juga sudah menjadi bagian budaya.

Mengapa terjadi perbedaan? Banyak yang mengira perbedaan bersumber dari perbedaan metode penentuan awal bulan hijriyah. Perbedaan antara metode rukyat dan hisab.

Apalagi, perbedaan bukan hanya pada aspek praktis tanggal yang berbeda, tetapi yang paling mendasar adalah perbedaan dalil-dalil fikih (pemikiran tentang hukum-hukum ibadah).

Rukyat dan hisab dianggap sesuatu yang berbeda, sehingga wajar bila berbeda. Akhirnya, kemudian ada pihak-pihak yang menyerah pada keadaan. Mereka berpendapat, perbedaan tidak bisa diselesaikan sampai kapan pun.

Bisa Bersatu

Bila kita telusuri, sesungguhnya rukyat dan hisab dalam penentuan awal bulan hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjan, setara dan saling menggantikan.

Rukyat berdasarkan pengamatan langsung, tetapi dipandu dengan hasil hisab. Hisab didasarkan pada formulasi yang dirumuskan dari data rukyat jangka panjang.

Perbedaan hanyalah pada tataran cara pandang fikih. Ada yang menganggap rukyat yang paling kuat dalilnya dan itu merupakan bentuk ketaatan (ta’abudi) pada contoh Rasul.

Pihak lain menyatakan, hisab lebih praktis dan lebih akurat yang juga ada dasar hukumnya.

Dikotomi rukyat dan hisab seolah sudah melekat kuat, khususnya pada generasi tua. Namun kini ada kecenderungan baru, khususnya pada generasi muda yang makin melek teknologi.

Rukyat dan hisab sama perannya dalam penentuan awal bulan hijriyah. Rukyat makin menarik dengan bantuan teleskop dan perangkat kameranya digitalnya. Aplikasi pengolah citra pun tersedia dan aplikasi astronomi kini tersedia di internet.

Lalu, sebenarnya apa akar masalahnya kalau kita ingin mengurai kepelikan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan hari raya?

Perbedaan metode rukyat dan hisab bukan akar masalah. Generasi muda penggemar ilmu falak atau astronomi dari hampir semua ormas Islam saat ini umumnya sudah mengenal teleskop dan perangkatnya, serta bermain di laptopnya untuk menghitung awal bulan.

Tapi, dengan bersatunya rukyat dan hisab, ternyata perbedaan masih terjadi.

Akar masalahnya bukan pada perbedaan rukyat dan hisab, tetapi pada kriteria yang dijadikan rujukan.

Hal itu paling nyata ditunjukkan saat sidang isbat (penetapan) idul fitri 1418 H/1998 pada 28 Januari 1998.

Saat itu sesama pengamal rukyat bisa berbeda hasilnya, karena kriteria rujukannya berbeda.

Pada waktu itu, PW NU Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah memutuskan idul fitri jatuh pada 29 Januari 1998 berdasarkan laporan kesaksian hilal di Cakung dan Bawean.

Namun PB NU yang mendasarkan pada kriteria 2 derajat, menolak kesaksian itu karena posisi bulan sesungguhnya kurang dari 2 derajat. PB NU mengusulkan pada sidang isbat idul fitri pada 30 Januari 1998.

Sementara ini sesama pengamal hisab juga berbeda keputusannya, karena kriterianya berbeda.

Muhammadiyah berdasarkan hisab wujudul hilal (asalkan tepi atas piringan bulan masih berada di atas ufuk saat maghrib) mengumumkan idul fitri 29 Januari 1998.

Ormas Persis yang juga mendasarkan pada hisab menetapkan idul fitri 30 Januari berdasarkan kriteria tinggi 2 derajat.

Posisi bulan yang tingginya sekitar 1,5 derajat telah memenuhi kriteria wujudul hilal, tetapi belum memenuhi kriteria 2 derajat.

Setelah itu semakin nyata perbedaan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzuhijjah karena perbedaan kriteria.

Ketika posisi bulan tingginya antara 0 dan 2 derajat, pasti terjadi perbedaan. Itulah posisi kritis yang menjadi perhatian Kementerian Agama yang menginginkan merangkul seluruh komponen ummat.

Dalam enam tahun terakhir, 1437 H/2016 – 1442 H/2021, tidak terjadi perbedaan karena posisi bulan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzuhijjah masih negatif atau lebih dari 2 derajat.

Jadi, dengan diketahui sumber perbedaan awal Ramadhan dan hari raya, kita berupaya menyelesaikan dari akarnya, yaitu menyatukan kriterianya.

Sesungguhnya, perbedaan kriteria juga berkait dengan beragamnya otoritas penetapan tanggal hijriyah.

Masing-masing ormas Islam merasa berhak menyusun kalender dan menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan kriteria masing-masing.

Pada 2004 akhirnya keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Salah satu butir fatwa tersebut menyatakan, “Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzuhujjah”.

Di dalam fatwa pun ada rekomendasi, “Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait”.

Pada 2010 LAPAN (khususnya yang sekarang jadi Pusat Riset Antariksa BRIN) melalui publikasi ilmiahnya mengusulkan kriteria baru beda tinggi bulan-matahari 4 derajat (yang setara dengan tinggi bulan 3 derajat) dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) 6,4 derajat.

Kriteria itu disusun berdasarkan alasan fisis hilal yang cukup terang (diwakili parameter elongasi bulan), untuk mengalahkan cahaya senja pada ketinggian tertentu.

Kriteria itu langsung diadopsi oleh ormas Persatuan Islam (Persis) pada 2012 untuk membuat kalender Islamnya.

MUI menindaklanjuti penentuan kriteria pada pertemuan menjelang Munas 2015. Saat itu Tim Pakar Astronomi ditugaskan menyusun Naskah Akademik yang kemudian mengusulkan kriteria baru tersebut.

Sayangnya MUI pada Munas di Surabaya tersebut, belum menerima kriteria awal bulan yang diusulkan Tim Pakar tersebut.

Perkembangan selanjutnya, pada pertemuan teknis MABIMS (Forum menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menyetujui draft kriteria baru MABIMS yang nilainya sama dengan usulan Tim Pakar Astronomi.

Lalu berlanjut kriteria baru dimasukkan di Rekomendasi Jakarta 2017.

Di MABIMS, setelah disetujui pada tingkat pejabat tinggi pada 2019, akhirnya pada 8 Desember 2021 para Menteri Agama menyetujui kriteria baru MABIMS: tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.

Menuju Penyatuan Kalender Islam

Untuk terwujudnya sistem kalender yang mapan diperlukan tiga prasyarat: ada otoritas tunggal, ada kriteria tunggal, dan ada batas tanggal yang disepakati.

Saat ini belum ada otoritas tunggal yang menetapkan kalender Islam, baik di tingkat nasional, regional, maupun global.

Sementara kriterianya pun masih beragam. Batas tanggal relatif mudah disepakati, menggunakan Garis Batas Tanggal Internasional untuk kalender global.

Kesepakatan kriteria baru MABIMS menjadi terobosan ketika di tingkat nasional masih terkendala mewujudkan kriteria tunggal.

Kita berharap semua ormas Islam bisa mengadopsinya untuk segera mewujudkan penyatuan kalender Islam di tingkat nasional dulu.

Kemudian, langkah selanjutnya adalah mewujudkan kalender Islam regional bersama negara-negara MABIMS.

Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/13/110500423/astronomi-tawarkan-solusi-penyatuan-kalender-islam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke