Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Kusta Sedunia, Ini 4 Mitos Kusta yang Tidak Perlu Dipercaya

Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak, setelah India dan Brasil.

Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes per tanggal 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta terdaftar yakni 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.

Kementerian Kesehatan RI dalam peringatan HKS tahun ini mengangkat tema Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta.

"Untuk itu, melalui tema nasional 'Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta', peringata HKS 2022 mengajak seluruh elemen bangsa untuk menggalakkan kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagai upaya untuk mencapai eliminasi kusta," tulis Kemenkes dikutip dari akun resminya, Senin (31/1/2022).

Tema ini diangkat karena kusta sering dianggap sebagai penyakit kutukan, keturunan, penyakit orang miskin dan lain sebagainya. Berbagai pemikiran tersebut, banyak masyaralat yang salah persepsi tentang penyakit yang satu ini.

Berikut 4 mitos tentang kusta yang tidak perlu dipercaya.

1. Kusta penyakit kutukan

Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K) yang akrab disapa dr Dini mengatakan, mitos yang paling banyak dipercaya masyarakat terkait kusta adalah penyakit kutukan.

Dini dalam pemberitaan Kompas.com edisi 9 September 2019 menegaskan, kusta bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, makanan atau penyakit keturunan seperti yang masih banyak dipercaya oleh masyarakat saat ini.

"Kusta ini bukan penyakit kutukan seperti yang dipikirkan orang-orang yang belum tahu itu, karena kusta ini penyebabnya jelas, pengobatannya juga ada, cuma mereka (penderitanya) saja yang kadang tidak tahu kalau mereka kena gejala kusta dan terlambat mengobatinya," ujar dr Dini. 

Kusta adalah penyakit menular menahun atau infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman kusta, yaitu mycobacteriu leprae.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan kusta sebagai salah satu Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) yang ada di Indonesia, yang paling sering bermanifestasi pada jaringan kulit. Penyakit ini juga menyerang saraf tepi, dan organ tubuh lainnya.

Penularan dapat terjadi karena kontak lama, 3-5 tahun atau lebih lama, antara penderita kusta yang tidak diobati kepada orang yang sehat melalui pernapasan. 

Itulah sebabnya, tidak semua orang serta merta tertular kusta begitu berkontak dengan penderita. Secara statistik, hanya lima persen saja yang akan tertular. 

Dokter Dini pun berkata, bahwa penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang paling rendah penularannya. Anggota keluarga pun tertular jika penderitanya tidak minum obat secara teratur.

2. Penyakit orang miskin 

Banyak orang menganggap kusta sebagai penyakit orang miskin saja. Padahal, seperti disampaikan oleh Dini, penyakit ini bisa menyerang semua golongan sosial dan ekonomi masyarakat. 

"Di Jakarta ini, bahkan banyak golongan masyarakat menengah ke atas yang terkena kusta. Kusta bukan penyakit orang miskin saja kok," tegas dr. Dini. 

"Kan bakteri kusta ini ataupun bakteri penyakit lain itu sangat mudah menyerang kalau daya tahan tubuh sedang tidak baik, Ya kayak orang kebanyakan di Jakarta yang lelah kerja, lelah macet, timbul stres dan lainnya, jadi imunitasnya berkurang. Itu bisa sekali memicu siapa saja terinfeksi bakteri apa pun," imbuh dr Dini.


3. Penyakit orang dewasa dan manula 

Dinyatakan oleh dr Dini, kusta dapat dialami oleh segala jenjang usia, baik itu anak-anak, dewasa atau manula. 

Meski demikian, memang golongan usia dewasa 20-40 tahun adalah yang paling banyak terkena penyakit kusta, khususnya di Indonesia. 

Lalu, jika melihat pada perbandingan antara wanita dan pria, kasus kusta pada pria lebih banyak dibandingkan kasus kusta yang terjadi pada wanita. 

4. Penderita kusta perlu dikucilkan 

Ditegaskan oleh dr Dini, hal yang paling dibutuhkan oleh seorang pasien kusta adalah dukungan dan motivasi dari keluarga agar patuh menjalani pengobatan.

Dokter Dini mengakui bahwa di era modern pun, banyak masyarakat yang menganggap kusta sebagai penyakit kutukan, sehingga penderitanya sering dikucilkan dan menerima perlakuan diskriminatif. 

Lalu kalaupun tidak memercayai mitos di atas, banyak orang mengira kusta sebagai penyakit yang luar biasa menular, sehingga merasa jijik dan menghindari penderita kusta. 

"Makanya masih banyak masyarakat di kita (Indonesia) sendiri yang malu kalau ketahuan kusta, itulah (alasan) mereka rela berobat keluar daerah karena malu dikucilkan dan dijauhi oleh teman ataupun tetangga dan kerabatnya," kata dr Dini.

"Sama kayak dulu, stigma orang memandang HIV-AIDS itu perlu dijauhi atau dihindari (karena) takut menular, atau jijik dan lainnya. Sekarang, stigma itu sudah mulai bergeser. Mereka yang terkena HIV-AIDS sudah dianggap punya hak sosial yang sama. Inilah yang perlu diberlakukan juga pada penderita kusta," imbuhnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/31/190300723/hari-kusta-sedunia-ini-4-mitos-kusta-yang-tidak-perlu-dipercaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke