Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan

KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan ada kecenderungan kenaikan kasus kekerasan seksual selama pandemi Covid-19. 

Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu belakangan ini, kasus kejahatan seksual di Indonesia semakin banyak terungkap dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. 

Mulai dari kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi di beberapa perguruan tinggi, kasus perkosaan dan pemaksaan aborsi dengan korban NWR dan pelaku RB, pencabulan anak oleh orang tua, paman, kakek dan tetangganya, serta perkosaan dan pemaksaan kehamilan pada santriwati di sejumlah pondok pesantren.

"Kalau dilihat dari data catatan Komnas perempuan 2020, kenaikan kekerasan seksual itu capai 19 persen," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentiriyani kepada Kompas.com, Jumat (10/12/2021).

Andy menambahkan, sebagian besar kenaikan kekerasan seksual tersebut terjadi di ranah personal 10 persen dan ranah publik 8 persen.

Selama 2021 kasus kekerasan meningkat, terutama terhadap perempuan hingga 2 kali lipat dibandingkan 2020.

Seperti kasus bunuh diri dan kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi berinisial NWR (23) pekan lalu telah menambah rentetan panjang kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pada pemberitaan sebelumnya, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. 

"Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020. Lonjakan pengaduan kasus telah kami amati sejak tahun 2020," jelasnya.

Pada kurun tahun 2015-2020, tercatat 11.975 kasus dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 provinsi, atau sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.

Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus kekerasan seksual per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.

"Kasus (kekerasan seksual) ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum," kata Ami dalam konferensi pers Komnas Perempuan, Senin (6/12/2021).

Penyebab naiknya kasus kekerasan seksual di Indonesia

Komnas Perempuan membeberkan bahwa sebenarnya kenaikan kasus yang luar biasa ini bisa terjadi pelaporan yang lebih kerap dilakukan oleh para korban. 

"Artiya semakin banyak korban yang memiliki akses untuk melapor," kata Andy kepada Kompas.com, Jumat (10/12/2021).

Penyebab semakin meningkatnya kasus pelaporan ini adalah karena selama masa pandemi sejumlah layanan pindah ke daring, Sehingga, akses melaporkan kejadian kekerasan seksual lebih mudah dijangkau oleh korban yang memiliki akses teknologi informasi.

Namun, ia juga menyayangkan bahwa di saat bersamaan, jumlah kekerasan seksual di ruang online juga meningkat.

Menurut Andi, dengan semakin banyaknya laporan kasus kekerasan seksual ini, kita tidak bisa menilai apakah kondisi saat ini lebih baik karena semua kasus kekerasan seksual pada perempuan ini terungkap, ataukau kondisi menjadi buruk karena ternyata banyak sekali kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia ini.

"Kasus KS (kekerasan seksual) itu tetap saja fenomena gunung es. Dari banyak survei dan kajian 80 persen tidak akan melapor," ujarnya.

"Artinya bahwa semakin banyak kasus diungkap  adalah tanggungjawab negara untuk meresponnya dengan tepat, bukan soal baik atau buruk," tegasnya.

Tantangan penanganan kasus kekerasan seksual

Ami mengatakan, dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi. 

Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekhawatiran yang terus dipikul oleh Komnas Perempuan.

"Kekhawatiran (akan kasus kekerasan seksual pada perempuan) kami semakin menjadi sejak kwartal kedua 2021," kata dia.

Dikarenakan tidak mendampingi kasus secara langsung, upaya membantu korban dilakukan Komnas Perempuan dengan melalui sistem rujukan dan kerjasama dengan berbagai mitara lembaga layanan.

Namun, pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan, sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri merke, yang juga bekerja dengan sumber dana yang terbatas.

Terlebih, masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan. 

Sementara itu, kajian kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan pada tahun 2020, memperlihatkan bahwa hanya 30 persen kebijakan daerah yang memandatkan adanya sistem pemulihan. 

Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman.

"Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan bom waktu terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata dia.

"Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua," imbuhnya.

Oleh karena itu, Ami menegaskan, mendidik publik untuk mendukung korban dan mendesak negara agar sungguh-sungguh membangun secara berkelanjutan infrastruktur dan sistem layanan pemulihan korban adalah tanggung jawab semua pihak.

Hal ini perlu diupayakan agar kisah memilukan seperti NWR dan korban kekerasan seksual di pondok pesantren yang membawa duka serta pukulan bagi keluarga korban.

Bahkan, semua perempuan korban kekerasan, dan banyak dari kita, juga bagi Komnas Perempuan serta lembaga-lembaga pendamping sebagai pertanda Indonesia darurat kekerasan seksual menjadi yang terakhir.

"Semua tangan haruslah disiapkan untuk merangkul dan merawat korban," tegasnya.

Komnas Perempuan menyerukan agar terkuaknya banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini menjadi momentum dalam banyak hal dan tidak perlu ditunda lagi untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut.

1. Saatnya negara benahi diri

Negara harus segera membenahi diri, termasuk dengan menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional maupun daerah.

2. Sahkan RUU TPKS segera

Dari kasus NWR ini, Komnas Perempuan juga meminta agar semua pihak untuk turut mendorong pengesahan RUU TPKS, memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan individu pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan bersama-sama mengupayakan mengikis budaya menyalahkan perempuan korban kekerasan.

3. Kepolisian harus tegas

Kepolisian diminta untuk melakukan langkah-langkah tegas untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Terutama kasus pelecehan seksual, dengan tidak terbatas pada demosi, pelucutan jabatan ataupun penghentian keanggotaan saja, melainkan dengan proses hukum dan pemulihan korban yang berkeadilan.

4. Pembenahan internal.

Ami pun menambahkan, secara internal, Komnas Perempuan akan terus melakukan penguatan sistem dalam penyikapan pada pengaduan korban, menguatkan sistem rujukan, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan bagi lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan.

"Komitmen kami tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban (kekerasan seksual) atas nama kemanusiaan," tegasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasan-seksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke