Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Baim Wong, Kakek Suhud dan Nikita Mirzani, Begini Sosiolog Menilainya

KOMPAS.com - Kasus viral Baim Wong menegur kakek Suhud terus menyita perhatian masyarakat, ditambah reaksi artis lain, Nikita Mirzani yang dinilai warganet mengambil panggung dari persoalan ini.

Berawal dari tindakan Baim Wong menegur seorang kakek, karena minta uang. Baim merasa kesal, karena usai mengantar isterinya Paula Verhoeven ke rumah sakit, ia dan anaknya Kiano, terus diikuti sang kakek.

Sikap Baim dinilai netizen berlebihan dan banyak yang kecewa kepadanya. Namun, di sisi lain, ada yang memaklumi tindakan Baim yang menegur si kakek.

Saat masalah ini ramai diperdebatkan netizen di media sosial, sosok Nikita Mirzani masuk seolah memperuncing persoalan ini.

Seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (13/10/2021), Niki memberikan pesan khusus untuk Baim Wong setelah masalahnya dengan Kakek Suhud.

"(Pesan) Untuk Baim? Mendingan pada unsubscribe aja deh channel YouTube-nya ya, gue enek," kata Nikita Mirzani saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (12/10/2021).

Nikita Mirzani memang diketahui telah memiliki masalah dengan Baim Wong beberapa waktu lalu. Banyak warganet yang menilai Niki mencoba memanfaatkan kesalahan dan situasi yang dihadapi Baim Wong untuk keuntungannya.

Aspek sosiologis kasus Baim Wong dan Kakek Suhud

Kasus Baim Wong marahi Kakek Suhud dan komentar Nikita Mirzani, menurut Dosen Departemen Sosiologi FISIP UGM AB Widyanta, memiliki aspek sosiologis yang kuat.

"Saya memandang kasus ini sebagai teori dramaturgi sosial. Maksudnya, teori ini mengacu antara latar depan atau front stage dan latar belakang yakni back stage," kata Widyanta saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/10/2021).

Widyanta mengatakan bahwa topik ini sebenarnya adalah soal interaksionisme simbolik.

Interaksionisme simbolik adalah interaksi yang dalam perjumpaan langsung, lalu secara simbolik membaca seluruh konteks yang dihadapi di depannya, yang kemudian menyebabkan interaksi timbal balik antar keduanya.

Dalam kasus Baim Wong menegur seorang kakek, kata Widyanta, saat itu dia sedang berada di dalam back stage atau panggung belakang. Sebab, dia sedang tidak berada di dunia media sosial untuk memanggungkan dirinya.

"Akan tetapi, (Baim) sedang dalam kehidupan keseharian, sedang ada di level back stage. Tetapi di sisi lain, karena Baim Wong juga tampil sebagai front stage dengan media sosialnya, yang terbiasa menjadikan orang-orang miskin untuk diberi (uang) secara terus menerus, ia telah memposisikan dirinya sebagai dermawan. Itu panggung depannya," jelas Widyanta.

Widyanta menyebut, dalam aspek sosiologis itu disebut dengan komodifikasi kemiskinan.

Bagaimana ia menampilkan sesuatu melalui video di media sosial, suka memberi, sebagai orang dermawan, yang itu kemudian direproduksi ke media sosial berupa video yang memberikan semacam charity.

"Front stage (Baim Wong) menjadi Sinterklaus, malaikat, yang selalu memberi di saat ada orang mengalami kesusahan," kata Widyanta.

Secara tidak sadar yang dilakukan Baim Wong adalah bentuk komodifikasi kemiskinan. Proses menjadikan kemiskinan sebagai komoditas untuk rating kepopuleran selebriti.

Namun dalam kasus ini juga, Widyanta juga tidak hanya melihat dari sisi Baim Wong. Kakek Suhud juga memiliki pencitraan tentang Baim.

Berkaitan dengan imaji, menangkap gambaran dari video Baim Wong yang suka memberi uang.

Dalam benak Kakek Suhud, kata Widyanta, terbesit atau terindikasi oleh imej Baim Wong yang dermawan.

"Kemudian dia (Kakek Suhud) mengejar Baim. Keduanya ini sudah masuk dalam permainan simbolik, termakan satu menggunakan kemiskinan sebagai komoditas, lalu ditangkap Kakek Suhud yang mencitrakan Baim sebagai sosok dermawan," jelasnya.

Tetapi, ternyata dalam kehidupan keseharian yang biasa, Baim berbeda dengan dicitrakan dalam video. Ada ketersobekan antara front stage dan back stage.

Widyanta mengatakan bahwa sebetulnya ini adalah peristiwa bias dan semua orang punya hak untuk melindungi privasinya.

"Namun, interaksionisme simbolik yang terbentuk dari apa yang dialami Baim Wong dan Kakek Suhud ini, keduanya sama-sama mengalami miss (kesalahan) persepsi," papar Widyanta.

Orang pun, dalam hal ini netizen, melihat interaksi tersebut dan mungkin berkomentar soal moral.

Namun, sebetulnya keduanya tengah terlibat dalam suatu interaksi imaji. Kakek Suhud pun bertindak begitu karena imej Baim yang dermawan dari melihat video-videonya.

Kegaduhan Baim Wong dan Kakek Suhud, kemudian mengundang reaksi Nikita Mirzani. Menurut Widyanta, komodifikasi sosial juga sedang dimanfaatkan oleh artis tersebut.

"Tujuannya untuk rekognisi, yakni pengakuan, agar Nikita Mirzani juga punya popularitas yang lebih tinggi dari Baim Wong. Ini soal kontestasi di dalam dunia simbolik," ungkap Widyanta.

Widyanta menyimpulkan bahwa peristiwa biasa ini menjadi menarik karena media sosial yang berperan dalam hal ini hanya untuk tujuan rekognisi, baik oleh Baim Wong, Kakek Suhud maupun Nikita Mirzani.

Dalam dunia virtual media sosial hari ini, kata Widyanta, di mana semua orang menjadi, orang pun semakin bebas berkomentar tanpa perlu mengetahui konteks dan duduk perkaranya. Semua bisa saling silang pendapat dengan bebas.

Komodifikasi oleh selebriti lain, dalam hal ini Nikita Mirzani, dilakukan untuk mendapatkan rekognisi atau pengakuan. Artinya, ini kompetisi untuk mendapatkan popularitas lebih dari perkara tersebut, yakni masalah Baim Wong menegur Kakek Suhud.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/14/123500823/kasus-baim-wong-kakek-suhud-dan-nikita-mirzani-begini-sosiolog-menilainya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke