Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ribuan Orang Nekat Mudik, Ahli: Ada Kesalahan Komunikasi Publik Sejak Awal

KOMPAS.com - Nekatnya ribuan pemudik hingga membuat petugas kuwalahan, disebut epidemiolog sebagai imbas dari sesuatu yang salah sejak awal.

Ribuan pemudik yang mengendarai sepeda motor menjebol barikade penyekatan di Jalur Pantura Kedungwaringin, perbatasan Kabupaten Bekasi-Karawang, pada Minggu (9/5/2021) pukul 22.40 WIB.

Laporan Warta Kota, jumlah sepeda motor yang membeludak membuat kemacetan parah.
Bahkan, sejumlah pengendara sepeda motor nekat melawan arus untuk melewati pos penyekatan yang dijaga petugas gabungan dari unsur kepolisian, TNI, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan.

Situasi semakin semrawut dan macet tidak bergerak sepanjang 5 kilometer.

Menurut epidemiolog Dr Windhu Purnomo, pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), tidak mengherankan jika petugas penyekatan di beberapa lokasi kewalahan dengan membludaknya pemudik yang nekat pulang.

Apalagi, dikatakan Windhu, pemudik sudah tahu bahwa saat malam hari petugas yang berjaga di titik penyekatan lebih sedikit.

"Apalagi tengah malam sampai subuh, dah itu hampir kosong," ujar Windhu kepada Kompas.com, Senin (10/5/2021).

"Pemudik itu ngerti, mereka itu saling berkomunikasi. Wong saya pernah mendapatkan komunikasi mereka. 'Di posko ini jam sekian petugasnya enggak ada'. Mereka beritahu satu sama lain," imbuh dia.

Windhu memprediksi, para pemudik yang nekat menerobos untuk pulang kampung masih akan terlihat dalam beberapa hari ke depan. Bukan hanya lewat jalan tikus, tapi nekat lewat jalan utama.

Kesalahan komunikasi publik sejak awal

Dikatakan Windhu, alasan pemudik nekat pulang kampung di tengah pandemi Covid-19 bukan hanya karena tradisi lebaran yang sudah mengakar.

"Jadi sebenarnya, masyarakat nekat-nekat (pulang kampung) begini karena permasalahannya di komunikasi publik pemerintah," jelas dia.

"Kebijakan saja, kalau saya bilang dalam bahasa Jawa mlenca mlence. Tiba-tiba berubah kebijakannya."

Menurutnya, sejak awal seharusnya kebijakan dari pemerintah konsisten, yakni memberi pengarahan tegas tanpa embel-embel atau istilah yang tidak jelas.

Sebagai contoh, pada lebaran tahun 2020, mudik dilarang tapi boleh pulang kampung.

"Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung, jadi mereka pulang," kata Jokowi menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam program Mata Najwa yang tayang pada 22 April 2020.

"Ya kalau mudik itu di hari Lebaran-nya. Beda. Untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu yang bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung," lanjut dia.

Tak jauh beda dengan tahun lalu, Windhu mengamati kebijakan lebaran tahun 2021 juga tidak tegas dan tidak sinkron.

"Tadinya boleh mudik, kemudian enggak boleh. Kemudian boleh mudik di wilayah zonasi tertentu," kata Windhu.

"Nah itu juga bertentangan. Apa virus itu bisa membedakan mana pemudik jalan jauh dan dari lokal? Kan enggak bisa."

"Pokoknya ada orang bergerak, entah itu jauh entah dekat dan kemudian berinteraksi, akan berisiko terjadi transmisi (penularan) virus," jelasnya.

Belum lagi, imbuhnya, kebijakan tentang mudik dilarang tapi berwisata diizinkan.

Dari kebijakan-kebijakan tersebutlah yang akhirnya membuat masyarakat bingung dan akhirnya nekat mudik.

"Masyarakat bingung. Saya mau mudik, ketemu keluarga enggak boleh. Tapi orang yang bersenang-senang, piknik, boleh," kata dia.

Kebingungan masyarakat akan kebijakan pemerintah yang tidak sinkron ini yang akhirnya membuat masyarkat brontak dengan nekat mudik dan justru saling menyemangati untuk mudik.

"Ini karena pemerintah membuat kebijakan yang paradoksal (bertentangan); tidak sinkron antar sektor, antara pemerintah pusat dan daerah tidak sama," kata dia.

Ketika suatu kebijakan dibuat dengan tegas dan sinkron dari atas ke bawah, masyarakat pun akan melihat bahwa pemerintah serius dalam menangani pandemi Covid-19 ini.

Namun ketika kebijakan yang dibuat tidak sinkron, masyarakat pun menilainya pemerintah tidak serius.

Berimbas ke hal yang lain

Ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan Covid-19, dikatakan Windhu, membuat pandangan masyarakat tentang pandemi ikut berubah.

Sejak Covid-19 pertama kali diumumkan, faktanya memang ada masyarakat yang tidak percaya terhadap virus ini.

Namun, masyarakat yang tadinya menganggap bahwa virus corona berbahaya dan sangat menjaga diri, opininya dinilai Windhu menurun.

"Karena sejak Januari hingga pertengahan Maret 2021, pemerintah gembar-gembor angka Covid-19 menurun. Kemudian vaksinasi sudah berjalan, seakan-akan kasus benar-benar sudah menurun," kata dia.

"Padahal menurun salah satunya karena testing yang sudah melemah. Kemudian vaksinasi juga masih sangat kecil, belum sampai 3 persen dari jumlah penduduk. Tidak ada artinya."

Hal ini juga membuat masyarakat mempertanyakan, kenapa jika kasus sudah turun tetap dilarang mudik.

Inilah yang membuat Windhu menilai bahwa komunikasi publik yang dilakukan pemerintah selama ini tidak tepat.

Dia menyampaikan, berdasarkan data memang jumlah kasus Covid-19 di Tanah Air menurun dari Januari hingga pertengahan Maret. Namun sejak minggu ketiga Maret hingga hari ini, datanya stagnan, tidak turun lagi.

Dijelaskan Windhu, gambaran grafik kasus yang stagnan sebenarnya adalah alarm.

"Di banyak negara, saat data kasus stagnan dan tidak turun lagi, itu tanda-tanda akan meledak lagi," pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/10/163943323/ribuan-orang-nekat-mudik-ahli-ada-kesalahan-komunikasi-publik-sejak-awal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke