Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kartini dan Kesempatan Sekolah Bidan, Ingin Mencegah Kematian saat Melahirkan

KOMPAS.com - Setiap tanggal 21 April, kita memeringati hari Kartini. Bukan tanpa alasan, ini adalah hari lahir sosok pahlawan nasional yang berkat pemikirannya mengentaskan perempuan dari batasan-batasan sempit ala kolonial.

Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara.

Dia sempat belajar bahasa Belanda di Europese LAgere School hingga berusia 12 tahun.

Selepas itu dia dipingit, tapi rasa hausnya untuk menambah pengetahuan tak pernah berhenti.

Berkat kegemaran membaca dan menggali ilmu dari berbagai karya sastra membuat wawasannya luas. Prinsipnya pun semakin bulat untuk mencerdaskan dan memajukan wanita pribumi.

Suatu waktu, Kartini mengelilingi Jawa untuk memulai mendirikan sekolah bagi kaum wanita.

Kala itu, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda Jacques Hendrij Abendanon sempat mampir ke rumah Bupati Jepara Sosroningrat, ayahnya.

Dilansir laman historia.id edisi 23 April 2020, kunjungan Abendanon itu atas usulan penasihat pemerintah kolonial Christian Snouck Hurgronje.

Menurut Hurgronje, Kartini terkenal karena berani melanggar feodalisme Jawa dan punya ide untuk menyediakan pendidikan bagi kaum perempuan.

Saran Hurgronje terbukti. Dalam pengantarnya di buku surat-surat Kartini, Door Duisternis tot Licht, Abendanon mengaku perkenalan dan keramahan keluarga Sosroningrat membuatnya cukup tercengang.

Pada kesempatan berikutnya, Abendanon mengundang Kartini dan keluarganya ke Batavia.

Dalam sebuah pertemuan Kartini berbincang dengan direktur HBS untuk perempuan Van Loon. Hasilnya, Van Loon bersedia membantu Kartini bila ingin meneruskan pendidikan.

Pertemuan ini lantas dikisahkan Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelaar.

Dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901, Kartini mengisahkan betapa bahagianya ketika tawaran bantuan untuk melanjutkan pendidikan berdatangan.

“Dengan kehendaknya sendiri menawarkan kepada kami apabila mau, untuk mendidik kami menjadi bidan dengan cuma-cuma,” kata Kartini dalam suratnya.

Kartini juga mengatakan keberadaan bidan di Hindia Belanda masih amat sedikit, padahal mereka amat dibutuhkan.

Tiap tahun di Jawa atau seluruh Hindia Belanda, sekira 20 ribu perempuan meninggal kala melahirkan.

“Dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai,” sambungnya.

Pertolongan persalinan saat itu umumya diberikan oleh dukun beranak karena bidan amat jarang.

Padahal, upaya pelatihan bidan sudah dilakukan sejak awal abad ke-19.

Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817.

Namun, keinginan Kartini tak tercapai. Untuk mewujudkan keinginannya bersekolah, Kartini memerlukan izin ayahnya.

“Stella, maafkanlah seorang ayah yang bimbang melepaskan anak-anaknya kepada nasib yang tidak tentu,” kata Kartini, yang juga dibebani oleh kondisi kesehatan ayahnya.

Kartini tak tega meninggalkan ayahnya dalam kondisi lemah.

“Saya tidak akan dapat tenang sekejap pun apabila saya tahu ayah menderita dan memerlukan pertolongan,” katanya.

Pada akhirnya, Kartini tak jadi memenuhi harapannya untuk melanjutkan sekolah.

Ia meninggal pada 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya dengan bantuan dokter Ravesteijn.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/04/21/100200223/kartini-dan-kesempatan-sekolah-bidan-ingin-mencegah-kematian-saat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke