Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Epidemiolog: Optimisme Berlebih pada GeNose Justru Menjerumuskan Kita

KOMPAS.com - Ahli mengingatkan optimisme terhadap alat deteksi Covid-19 melalui napas seperti GeNose tidak boleh berlebihan.

Hal ini ditegaskan oleh ahli Epidemiologi dan Peneliti Pandemi dari Griffith University Australia Dicky Budiman.

"Tentu optimisme itu harus dibangun dalam situasi pandemi, tetapi tetap harus realistis, karena optimisme berlebihan menjerumuskan kita dan  itu sudah terjadi," kata Dicky kepada Kompas.com, Jumat (29/1/2021).

Dicky mengingatkan, selama 11 bulan Indonesia menghadapi pandemi justru kondisi semakin tidak terkendali akibat optimisme yang berlebihan tersebut.

Optimisme berlebihan yang pada akhirnya membuat masyarakat abai, menciptakan euforia euforia atas beberapa tindakan atau strategi yang tidak berbasis dasar ilmiah yang tepat.

"Ini yang harus kita perbaiki," ujarnya.

Menurut Dicky, terkait adanya pro-kontra alat deteksi awal skrining untuk Covid-19 melalui tes napas atau Genose ini, tentu harus disikapi dengan menempatkan pada porsi yang tepat dan proporsional, pada tataran ilmiah dan juga tetap kritis.

"Apresiasi itu tentu kita berikan, tapi adanya kritik itu bukan berarti kita tidak mengapresiasi. Tetapi di dalam dunia ilmiah, kritik itu dicari untuk memperkuat riset," kata dia.

Optimisme yang berlebihan terhadap GeNose ini juga dikhawatirkan akan mendapatkan respon yang keliru dari masyarakat, pemerintah maupun berbagi pihak terkait.

Maksudnya adalah dikhawatirkan dengan adanya GeNose yang memang belum sesuai dipergunakan di stasiun kereta api dan bus justru membuat masyarakat merasa aman untuk mobilisasi.

Padahal, kata Dicky, mobilitas adalah hal utama yang harus ditekan jika ingin benar-benar mengendalikan pandemi di tanah air Indonesia.

"Dan saya sendiri pun di Australia ya, untuk tes napas itu bukanlah hal baru, sebab tes untuk influenza pun sudah ada wacana riset (tes napas) itu," imbuhnya.

Tapi untuk diketahui, tes melalui napas ini dalam tataran paper (jurnal) itu menjanjikan-potensial sekali, tetapi dalam aplikasi real di lapangan, realitanya itu tidak mudah dan membutuhkan perjalanan panjang, karena banyak faktor yang berpengaruh.

Terutama karena lingkungan, humiditas itu menjadi salah satu faktor kendala. Faktor lain yaitu isu sensitifitas dan spesifitas dari alat ini juga masih mengemuka.

"Ditambah lagi jika dikaitkan dengan Covid-19, sebenarnya Coronavirus itu sendiri ada tujuh spesiesnya, nah ini harus memastikan apakah ini bisa membedakan dengan 4 (coronavirus) lain yang sudah endemik. Sehingga tidak terjadi, kesalahan kita dalam upaya untuk skrining," jelasnya.

Oleh karena itulah, walaupun di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika, tes napas ini sudah digaungkan di awal-awal pandemi, tetapi sampai sekarang belum ada negara yang menerapkan tes napas ini menjadi salah satu bagian dari strategi negara mereka untuk melakukan skrining kasus Covid-19.

"Karena ini masih perlu uji lebih lanjut," tuturnya.

Nah, untuk alat uji tes napas GeNose yang sedang ramai digaungkan akan dipakai di Indonesia sebagai alat skrining kasus infeksi Covid-19, Dicky menilai penempatannya tidak tepat.

"Berbasis dari risetnya sendiri, dia (GeNose) sudah berbasis mesinnya sudah dimodifikasi dalam realita atau kondisi rumah sakit. Tentu rumah sakit dan populasi umum itu berbeda," kata Dicky kepada Kompas.com, Jumat (29/1/2021).

Sehingga, wacana Menteri Perhubungan (Menhub) Indonesia yang akan mempergunakan alat GeNose ini stasiun kereta api dan bus tidaklah sesuai. GeNose yang ada sekarang, lebih baik dipergunakan di pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik ataupun puskesmas.

"Dan ini ditambah lagi dengan kondisi di mana di (uji klinik) fase 2 nya itu pun, tetap dilakukan di lingkungan kasus atau potensi positifnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi populasi umum, yang di sini menjadi dalam lagi terkait clash in balance (perselisihan keseimbangan riset dan penerapan lapangan)-nya antara positif dan negatif," ujar dia.

Sebab, target populasi yang dilakukan dalam uji klinik adalah orang yang rentan atau berisiko tinggi terhadap paparan Covid-19 karena lingkungannya adalah rumah sakit.

Sementara, jika dipergunakan di stasiun kereta api dan bus, maka target populasi deteksi skrining Covid-19 adalah masyarakat umum yang masuk kategori risiko rendah.

"Jadi harus ada riset lagi. Jadi sekali lagi saya sampaikan bukan masalah tes-alat ini tidak akurat, ya akurat iya, karena riset ini bukan hal yang pertama di dunia, banyak negara lain yang sudah melakukan. Tapi kalau ditujukan untuk skrining (masyarakat umum), desainnya juga harus ditujukan untuk (umum) itu harus dilakukan. Sehingga, positive prediction value-nya itu tidak rendah," jelasnya.

Untuk diketahui, pernyataan Dicky ini merupakan tanggapan terhadap penyataan terbaru Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi yang sebelumnya mengatakan bahwa GeNose akan digunakan mulai dari 5 Februari 2021 di stasiun kereta api jarak jauh.

Alat ini juga akan digunakan di terminal, namun pengecekan terhadap calon penumpang dilakukan secara acak.

Menhub Budi berharap penggunaan GeNose ini dapat lebih meringankan beban penumpang kereta api dan bus karena harga tes yang murah, yakni Rp 20.000.

"Katakanlah (harga tiket kereta) Jakarta-Bandung Rp 100.000, kalau mesti tes antigen Rp 100.000 lagi kan mahal. Dengan GeNose ini harganya hanya Rp 20.000," ujar Budi, Minggu (24/1/2021).

https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/30/100000623/epidemiolog--optimisme-berlebih-pada-genose-justru-menjerumuskan-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke