Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Asteroid, Menggugah Kesadaran Publik tentang Bahaya dari Langit

SETIAP tanggal 30 Juni diperingati sebagai Hari Asteroid Sedunia atau dikenal pula sebagai Hari Asteroid. Peringatan ini secara resmi dideklarasikan Perserikatan Bangsa–Bangsa melalui Resolusi no. 492 Sidang Umum ke–71 yang disahkan pada 6 Desember 2016.

Peringatan Hari Asteroid bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran umat manusia terhadap potensi bencana alam dari langit yang hadir dalam bentuk tumbukan benda langit.

Dengan kata lain, agar kita semua mewaspadai kemungkinan tubrukan asteroid atau komet ke Bumi sebagai sebuah potensi bencana. Bukan sekedar narasi sains fiksi yang elok ditonton di layar kaca seperti film lawas Armageddon dan Deep Impact.

Dengan begitu, kedudukan Hari Asteroid adalah selayaknya Hari Tsunami, yang secara resmi bernama Hari Kewaspadaan Tsunami Sedunia dan diperingati setiap 5 November. Karena tumbukan benda langit sanggup memproduksi bencana alam yang dampaknya setara dengan bencana alam lainnya seperti bencana hidrometerologi dan bencana geologi.

Bahkan jika melampaui ambang batas tertentu dampak tumbukan benda langit jauh melampaui tingkat keparahan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami maupun letusan gunung berapi.

Letusan Toba Muda 75.000 tahun silam adalah letusan gunung berapi terdahsyat di muka Bumi dalam 27 juta tahun terakhir. Dahsyatnya dampak letusan ini menyebabkan populasi manusia saat itu diduga berkurang, seperti terlihat melalui penyusutan genetik.

Akan tetapi, energi letusan tersebut hanyalah seperduaratus saja dibanding kedahsyatan peristiwa Tumbukan Chicxulub 65 juta tahun silam. Tumbukan ‘kiamat’ itu menyapu populasi dinosaurus dari panggung kehidupan di muka Bumi bersama dengan 75 persen kelimpahan makhluk hidup lainnya yang sezaman.

Jejak dari peristiwa dahsyat tersebut masih abadi hingga hari ini sebagai selapis tipis lempung kehitaman yang kaya butir–butir jelaga (karbon) dan melimpahnya unsur Iridium yang langka. Lapisan lempung itu terjepit di antara batuan sedimen periode Kapur dan Paleosen di berbagai penjuru Bumi.

Peristiwa Tunguska

Tanggal 30 Juni dipilih menjadi Hari Asteroid sebagai pengingat atas Peristiwa Tunguska 30 Juni 1908, yakni kejadian tumbukan benda langit terdahsyat dalam sejarah manusia modern. Terdahsyat dalam konteks energinya dan dampaknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terkait peristiwa tumbukan benda langit.

Sepanjang sejarah peradaban, kita telah berkali–kali bersentuhan dengan sejumlah peristiwa tumbukan asteroid. Misalnya peristiwa Kaalijarv 7.600 tahun silam di Estonia, peristiwa Campo del Cielo 4.500 tahun silam di Argentina hingga peristiwa Henbury 4.200 tahun silam di Australia.

Namun detailnya sangat terbatas karena hanya bisa dideduksi secara tak langsung berdasarkan jejaknya di batuan, selain lewat aneka legenda setempat dan cerita lisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Karakter Peristiwa Tunguska jauh berbeda. Selain pernyataan para saksi mata langsung, inilah untuk pertama kalinya umat manusia berkesempatan mengelaborasi dampak tumbukan benda langit melalui radas (instrumen) seismik, magnetik dan barometrik selain melaksanakan penyelidikan lapangan.

Meski masih menyisakan misteri di sejumlah bagiannya; lewat Peristiwa Tunguska–lah, terbentuk pemahaman manusia modern tentang bahaya yang bisa datang dari langit.

Tunguska adalah kawasan rimba raya taiga yang tumbuh di sekitar alur sungai Podkamennaya Tunguska, Siberia Tengah. Di tahun 1908, kawasan ini menjadi bagian dari propinsi Yeniseyk dalam kekaisaran Russia (kini propinsi Krasnoyark Krai, Russia).

Pagi hari tepat 112 tahun silam, yakni 30 Juni 1908 pukul 07:14 lokal, sebuah dentuman keras menggelegar mendadak terdengar, disusul hempasan angin sangat kuat dan kebakaran spontan.

Dentuman mirip ledakan itu terdengar hingga ratusan kilometer jauhnya. Hempasan angin yang sangat kuat membuat pepohonan dalam hutan taiga seluas 2.150 kilometer persegi roboh bertumbangan membentuk pola mirip sepasang sayap kupu–kupu. Dalam area tersebut terdapat 200 kilometer persegi hutan yang mengalami kebakaran spontan.

Di saat yang sama, sensor–sensor seismometer di sekujur daratan Eropa hingga sejauh Jerman mencatat usikan seismik aneh.

Sensor magnetometer di Irkutsk juga mencatat anomali, bahkan untuk beberapa lama, magnetometer ini menganggap Bumi sempat memiliki dua kutub utara magnetik dengan satu di antaranya berkedudukan di Tunguska. Sensor–sensor barometer di segenap penjuru Bumi merekam gelombang tekanan udara yang menyebar kemana–mana, diantaranya terdeteksi di Jakarta (saat itu masih Batavia).

Di hari–hari berikutnya, orang–orang Eropa menjumpai suasana langit petang yang lebih terang dari biasanya disertai ketampakan awan sangat tinggi (noctilucent).

Peristiwa Tunguska menjadi subyek penyelidikan panjang, yang diinisiasi ekspedisi lapangan Leonard Kulik pada 1927 dan berlanjut dengan gelombang penyelidikan–penyelidikan selanjutnya hingga sekarang. Pada saat ini, telah diketahui bahwa segala keriuhan di penghujung Juni 1908 disebabkan sebutir asteroid yang jatuh menumbuk Bumi.

Riset–riset termutakhir yang dikompilasi badan antariksa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan asteroid tersebut berkomposisi batu dengan dimensi antara 50 hingga 80 meter, seukuran bukit kecil.

Melaju secepat 15 kilometer per detik (54.700 km/jam) kala mulai memasuki atmosfer, awalnya selimut udara Bumi mencoba meredamnya dengan memperlakukannya sebagai meteor. Permukaan asteroid pun tergerus sedikit demi sedikit dan memijar sangat terang, yang pada puncaknya sampai puluhan kali lebih benderang ketimbang Matahari.

Namun dengan dimensinya yang masih terlalu besar, maka atmosfer tak punya cukup waktu guna menetralisir ancamannya sampai tuntas.

Sisa asteroid siap menghantam paras Bumi sebelum satu peristiwa mengesankan terjadi. Oleh karena meluncur ke target dengan sudut lintasan relatif kecil ke bidang datar, yakni berkisar 30 derajat atau kurang, maka di bawah ketinggian 20 kilometer mulai terjadi pelepasan energi sangat besar dalam tempo singkat.

Terjadilah airburst, kejadian–mirip–ledakan–di udara, yang melepaskan energi 15 hingga 30 megaton TNT atau setara dengan 750 hingga 1.500 butir bom nuklir Nagasaki yang diledakkan serentak.

Energi yang sangat besar dihantarkan ke segenap penjuru lewat menjalarnya gelombang kejut dan paparan sinar panas. Hantaman gelombang kejut ke paras Bumi membuat batang–batang pohon hutan taiga ambruk massal ke arah–arah tertentu. Sementara paparan sinar panas menyebabkan batang–batang pohon terpanaskan hebat hingga spontan menyala tanpa disulut.

Airburst juga menyebabkan sisa asteroid hancur lebur menjadi debu tanpa meninggalkan potongan besar yang bisa menciptakan kawah tumbukan di paras Bumi. Sebaliknya, sebagian besar debu tersebut membumbung tinggi ke lapisan startosfer dan melebar luas hingga menciptakan malam–malam menakjubkan bagi Eropa saat memantulkan sinar Matahari senja.

Potensi bencana masa depan

Lebih dari seabad kemudian, kita menyaksikan aneka peristiwa tumbukan benda langit berikutnya.

Ada yang berupa airburst seperti dalam peristiwa Rio Curuca 1930 (100 kiloton TNT) di Brazil, peristiwa Arroyomolinos de Leon 1932 (190 kiloton TNT) di Spanyol, peristiwa Bone 2009 (energi 60 kiloton TNT) di Indonesia hingga peristiwa Chelyabinsk 2013 (energi 560 kiloon TNT) di Russia.

Basisdata NASA mencatat sejak 1988 telah terdeteksi 822 peristiwa airburst, atau rata–rata 26 airburst dalam setiap tahun.

Ada pula benda langit yang berhasil mendarat di paras Bumi hingga membentuk kawah tumbukan seperti tumbukan Sikhote–Alin 1947 (kawah bergaris tengah 26 meter) di Russia, tumbukan Sterlitamak 1990 (kawah bergaris tengah 10 meter) di Russia dan tumbukan Carancas 2007 (kawah bergaris tengah 14 meter) di Peru.

Analisis statistik memperlihatkan setiap tahunnya terdapat 6.100 meteor yang berhasil tiba di paras Bumi sebagai meteorit meski tidak membentuk kawah tumbukan. Namun, hanya sebagian kecil saja yang bisa kita lihat secara langsung, mengingat manusia modern hanya menempati 0,13 persen paras Bumi (0,44 persen luas daratan Bumi).

Hingga saat ini, tak satupun dari peristiwa tersebut yang merenggut korban jiwa manusia secara langsung. Peristiwa Tunguska diduga menewaskan 3 orang namun tak ada buktinya hingga sejauh ini.

Sepanjang sejarah modern, sejauh ini hanya ada satu catatan terkonfirmasi terkait jatuhnya korban jiwa akibat hantaman benda langit, yakni dalam peristiwa airburst Sulaymaniyah 1888 yang menewaskan 1 orang. Peristiwa Sulaymaniyah terjadi di atas kota Khurmal (kini propinsi Halabja, Irak) saat dalam kekuasaan Turki Usmani.

Pada peristiwa–peristiwa yang lain hanya ada korban luka–luka dalam berbagai tingkatan yang telah dikonfirmasi dari kejadian–kejadian tersebut. Misalnya dalam Peristiwa Chelyabinsk 13 Februari 2013 (Russia) saat asteroid berdimensi 20 meter menerobos masuk atmosfer. Terjadi airburst yang melepaskan gelombang kejut hingga melukai 1.613 orang dan merusak 7.320 bangunan.

Kejadian–kejadian tersebut terasa kerdil jika dibandingkan dengan Peristiwa Tunguska 1908. Apa yang menggelisahkan dari Peristiwa Tunguska adalah bahwa kejadian airburst dalam tumbukan benda langit pada dasarnya serupa dengan peristiwa ledakan nuklir atmosferik, minus radiasinya.

Andaikata Peristiwa Tunguska terjadi saat ini dengan mengambil tempat misalnya di atas DKI Jakarta, niscaya segenap propinsi ini akan terbakar dan hancur berantakan akibat terpaan sinar panas bersama dengan hempasan gelombang kejut. Kesadaran bahwa sebutir asteroid yang relatif kecil saja dapat menyebabkan kerusakan besar kian tumbuh dengan berkaca pada kejadian di Chelyabinsk.

Selain bertujuan menggugah kesadaran manusia masa kini akan potensi bahaya tumbukan benda langit khususnya tumbukan asteroid, Hari Asteroid juga ditujukan untuk membangun teknologi yang memungkinkan guna mendeteksi dan melacak pergerakan populasi kelopok asteroid berpotensi bahaya yang bisa mengancam peradaban manusia.

Deteksi dan pelacakan tersebut seyogyanya dilaksanakan baik oleh institusi pemerintah, lembaga swasta maupun organisasi–organisasi filantropis. Diharapkan dalam tempo sepuluh tahun pasca proklamasi Hari Asteroid, umat manusia mampu menemukan dan melacak sedikitnya 100.000 asteroid berpotensi bahaya yang baru dalam setiap tahunnya. Sehingga sistem peringatan dini untuknya dapat segera dibangun.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/07/01/120400123/hari-asteroid-menggugah-kesadaran-publik-tentang-bahaya-dari-langit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke