Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Di Tengah Pandemi Corona, Ilmuwan Coba Kembangkan Vaksin Tahan Panas dan Dingin

KOMPAS.com - Pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus corona baru terus dilakukan. Namun, setiap tahun banyak vaksin yang rusak akibat pengaruh suhu.

Para ilmuwan dunia saat ini tengah sibuk mengembangkan vaksin untuk mencegah penyakit Covid-19 yang tengah mewabah.

Pandemi ini telah memperlihatkan betapa sulitnya membuat vaksin untuk membentengi umat manusia dari wabah penyakit.

Melansir VOA Indonesia, Selasa (16/6/2020), sebuah tim kimia di Inggris selama bertahun-tahun berusaha mencari cara agar vaksin dapat bertahan lebih lama.

Selama ini, mungkin kita tak menyadari, bahwa setelah ilmuwan berhasil menciptakan vaksin, maka semua telah usai.

Sayangnya, tidak demikian, masih ada upaya yang harus dilakukan ilmuwan untuk dapat mempertahankan vaksin-vaksin tersebut.

Suhu tertentu picu vaksin rusak

Sebagian vaksin, seperti vaksin polio dapat disimpan dalam suhu ruangan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Vaksin ini masih bisa efektif dan memicu respon kekebalan yang baik pada tubuh seseorang.

Namun, tidak semua vaksin dapat memiliki efektivitas demikian. Ada pula vaksin yang kurang stabil dan rentan terhadap suhu tertentu.

Artinya, vaksin tersebut bisa efektif jika disimpan dalam ruangan bersuhu rendah, antara dua sampai delapan derajat Celcius.

Suhu ini harus tetap terjaga sepanjang perjalanan vaksin dari tempat produksi ke orang yang akan menerima suntikan. Bahkan, jika vaksin yang dikirimkan harus menempuh jarak hingga ribuan kilometer.

Sebab, apabila ada kebocoran dalam proses pendinginan, artinya jutaan vaksin dapat rusak.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga mengatakan separuh vaksin yang disimpannya mengalami kerusakan.

Hal ini diakibatkan protein dalam vaksin berubah pada suhu yang lebih tinggi dan tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk memulihkannya.

Cegah protein vaksin berubah

Sekelompok tim peneliti di Universitas Bath, Inggris, telah berusaha mencari tahu bagaimana vaksin dapat bertahan dan mencegah protein dalam vaksin berubah.

Para peneliti ini menemukan sebuah cara untuk melapisi protein di silika, proses ini mereka sebut sebagai ensilikasi.

Proses ini diklaim dapar menjaga struktur asli dari suatu protein di dalam vaksin, apabila dipanaskan hingga 90 derajat Celcius.

Dr. Asel Sartbaeva, periset utama penelitian ini menjelaskan kebanyakan vaksin, terutama vaksin anak mengandung protein yang berupa rantai asam amino.

"Dan, rantai itu memiliki bentuk tertentu, jadi masing-masing protein akan memiliki bentuk unik sendiri," kata dia.

Sartbaeva mengatakan bentuk protein ini sangat penting, karena, misalnya ada sisi yang aktif, bisa dilindungi dengan rantai asam amino di dalamnya.

"Begitu proteinnya mulai terurai, sisi yang aktif akan terpapar dan apabila itu terjadi, maka protein tidak bisa dipulihkan," jelas Sartbaeva.

Tim Sartbaeva telah mempelajari suntik tetanus yang merupakan bagian dari vaksin DTP yakni diphtheria, tetanus dan pertussis.

Vaksin ini menurut UNICEF, adalah vaksin yang paling banyak diberikan kepada anak-anak.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Science Advances. Hasil penelitian tim ini melaporkan bagaimana vaksin yang dilindungi silika dapat bertahan setelah menempuh perjalanan sejauh 482 km.

Dalam studi tersebut mengklaim respon kekebalan tubuh dideteksi pada seekor tikus yang diberi vaksin yang dilindungi silika.

"Kami menyimpan sebagian vaksin di suhu ruangan selama bertahun-tahun, bahkan setelah disimpan bertahun-tahun tanpa pendinginan," kata Sartbaeva.

Hasilnya, tim masih bisa mengeluarkan proteinnya dan vaksin tersebut masih berfungsi dengan baik, seperti protein aslinya.

Di masa depan, Sartbaeva meyakini nantinya vaksin-vaksin Covid-19 yang dikembangkan bisa menghadapi masalah potensi kerusakan vaksin karena transportasi dan distribusi.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/16/190200723/di-tengah-pandemi-corona-ilmuwan-coba-kembangkan-vaksin-tahan-panas-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke