Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Perbudakan ABK Indonesia, SPPI Targetkan 3 Hal Ini

KOMPAS.com - Empat Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan berbendera China tengah menjadi sorotan pemberitaan media Korea Selatan dan Tanah Air.

Video yang dirilis oleh stasiun MBC diperoleh saat kapal tersebut bersandar di Pelabuhan Busan, Korea Selatan.

Dalam video tersebut, tiga orang ABK meninggal dunia di kapal kemudian mereka dilarung ke laut. Sementara satu ABK lainnya meninggal dunia di rumah sakit.

Para ABK mengaku dipekerjakan selama 18 jam dalam sehari. Bahkan mereka bisa berdiri selama 30 jam, dengan enam jam istirahat.

Rekaman tersebut menguak kasus-kasus penganiayaan yang dialami para ABK selama di atas kapal. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi bukti nyata masih adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap ABK Indonesia.

Illyas Pangestu, Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) mengatakan bahwa ini bukan kasus pertama yang terjadi, bahkan sudah terjadi berulang kali.

Dia menyoroti, regulasi di Indonesia perlu banyak berbenah, sehingga korban tidak bergelimpangan.

"Kadang-kadang miris juga, ini kejadian sudah berulang kali, tetapi mohon maaf para pihak terkait, khususnya pengambil kebijakan maupun yang berkepentingan di sini selalu tindakannya reaktif. Jadi akan bereaksi kalau sudah terjadi," kata Illyas dalam konferensi pers secara daring yang dilakukan Kamis (7/5/2020).

Illyas berharap, persoalan ini dapat dipecahkan bersama dan tidak lagi menunggu hingga ada korban.

Bagaimanapun, nelayan yang bekerja di kapal asing memiliki payung hukum Internasional.

Oleh sebab itu, dia atas nama SPPI berharap pemerintah segera meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) C188, sehingga pekerja perikanan di luar negeri mendapatkan kepastian hukum.

Untuk diketahui, ILO K188 berisi tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan. Dokumen lengkapnya ada di sini.

Target SPPI

SPPI sendiri saat ini fokus dalam pemenuhan hak-hak untuk para korban, baik yang meninggal maupun yang masih ada di Busan. Terlebih menurut kabar yang didapatkannya, para korban ABK yang saat ini masih ada di Busan mengalami trauma psikologis.

"Target yang pertama adalah pemenuhan hak, yang dilakukan dengan langkah-langkah eksternal dan internal," kata Illyas.

Salah satu pemenuhan hak yang ingin disoroti adalah penerapan hukum internasional terkait nelayan.

Dikatakan Illyas, di dalam hukum Internasional memang ada poin yang mengatakan bahwa pelarungan dibenarkan.

"Akan tetapi ingat bahwa pelarungan dibenarkan jika ada syarat-syarat yang harus dipenuhi," ungkapnya.

Illyas mengungkap, salah satu syarat dalam pelarungan di kapal nelayan adalah satu kali 24 jam ada izin keluarga.

"Ganjilnya itu kan, almarhum Ari kalau tidak salah (dilarung) dalam waktu tiga jam. Karena ini harus ada izin keluarga. Kalau izin keluarga didapatkan dalam tiga jam kayaknya agak mustahil, apalagi kondisinya di tengah laut," ujarnya.

"Kami dari Serikat Pekerja Perikanan Indonesia memahami benar ada payung hukum internasional. Tetapi norma dan syarat-syaratnya harus tetap dipenuhi," imbuhnya.

Kemudian target kedua pada perbaikan regulasi di dalam kapal-kapal asing. Jika tidak ada perbaikan ke depannya, Illyas mengatakan akan melakukan blacklist Internasional.

Ketiga, bagaimana perlindungan di dalam negeri. Menurutnya, perlindungan seharusnya sudah dimulai sejak perekrutan, kemudian persiapan pelatihan, dan penempatan.

"Ini regulasi di Indonesia memang perlu banyak berbenah, sedangkan korban bergelimpangan," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu Illyas mengajak semua pihak untuk fokus dalam pemenuhan hak-hak pekerja, memperbaiki kebijakan dan regulasi di Indonesia, dan jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/08/183100323/kasus-perbudakan-abk-indonesia-sppi-targetkan-3-hal-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke