Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Berada di Rumah Bisa Selamatkan Hidup dari Pandemi Covid-19?

KOMPAS.com - Seiring virus corona telah menyebar di Indonesia, Joko Widodo telah mengimbau masyarakat untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.

Hal ini pun disambut oleh masyarakat. Banyak perusahaan menganjurkan karyawannya untuk bekerja di rumah. Banyak sekolah dan perguruan tinggi meliburkan kegiatan belajar dan mengajar, acara-acara besar dibatalkan, hingga transportasi umum yang dibatasi jam dan rutenya.

Upaya ini disebut ahli epidemiologi sebagai flattening the curve of the pandemic atau meratakan kurva pandemi.

Idenya adalah untuk meningkatkan social distancing atau jarak sosial, agar penyebaran virus dapat terhambat.

Jika hal ini dilakukan, diharapkan jumlah orang yang terinfeksi tidak melonjak sehingga sistem kesehatan rumah sakit diharapkan tidak overkapasitas dan dapat melayani pasien dengan seoptimal mungkin.

Ibaratnya sistem perawatan kesehatan di dunia adalah MRT dan saat ini adalah jam kerja yang sangat sibuk di mana semua orang harus naik MRT. Dalam situasi seperti ini, pasti terjadi penumpukan di peron stasiun.

"Tak ada cukup ruang di dalam kereta untuk mengurus semua orang dan sistem menjadi kewalahan. Ketika tidak bisa menangani dengan baik, orang pada akhirnya tidak mendapat layanan yang diperlukan," kata Drew Harris seorang peneliti kesehatan populasi dari Universitas Thomas Jefferson di Philadelphia, dilansir NPR, Jumat (13/3/2020).

Untuk diketahui, Harris merupakan pencipta grafik yang memvisualisasikan mengapa sangat penting untuk meratakan kurva pandemi, termasuk dalam pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.

Seperti dilihat dalam gambar kurva di atas, ketika suatu kasus pandemi tidak disertai tindakan perlindungan (ditunjukkan warna oranye) maka akan terjadi penumpukan kasus sehingga pelayanan kapasitas over kapasitas.

Sementara jika suatu pandemi disertai tindakan perlindungan (warna biru), maka kasus penyakit yang akan datang ke rumah sakit pun lebih sedikit sehingga rumah sakit masih dapat memberi pelayanan optimal.

Harris mengatakan, tindakan pencegahan penyebaran virus sebaiknya dilakukan dalam minggu-minggu awal ketika ada kasus wabah muncul.

Hal ini agar sistem kesehatan dapat menyesuaikan dan mengakomodasi lebih banyak orang yang sakit dan mungkin membutuhkan perawatan rumah sakit.

"Ketika sistem kesehatan benar-benar dapat mengimbangi kemunculan pandemi, maka yang akan terjadi adalah skenario kurva biru yang lebih landai," kata Harris.

Bukti nyata

Flattening the curve of the pandemic atau meratakan kurva pandemik sudah dilakukan AS ketika pandemi flu di tahun 1918 terjadi.

Penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat pihak berwenang bergerak untuk menerapkan langkah pencegahan penularan penyakit, semakin banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Sejarah dua kota di AS, Philadelphia dan St. Louis dalam menghadapi wabah benar-benar menggambarkan seberapa besar perbedaan yang terjadi jika pemerintah dengan cepat melakukan tindakan pencegahan dan yang tidak.

Di Philadelphia, Harris mencatat, pemerintah kota mengabaikan peringatan yang diberikan para ahli penyakit menular, di mana wabah flu sudah beredar di Philadelphia.

Pemerintah justru mendukung parade besar yang mendukung ikatan Perang Dunia I, yang membuat ratusan ribu orang berkumpul.

"Hanya dalam waktu 48-72 jam, ribuan orang di seluruh wilayah Philadelphia mulai meninggal. Dalam enam bulan, sekitar 16.000 orang meninggal," kata Harris.

Sebaliknya di St. Louis, pemerintah daerah langsung menanggapi alarm para ahli. Menurut analisis flu 1918 yang terbit tahun 2007, dalam dua hari sejak kasus pertama dilaporkan, kota St. Louis melakukan strategi isolasi sosial.

"Mereka membatasi perjalanan, mengisolasi dan mengobati orang sakit, ornag yang terkena penyakit dikarantina, sekolah ditutup, dan mendorong social distancing. Selain itu juga mendorong membersihkan tangan secara teratur," ungkap Harris.

Upaya pencegahan yang dilakukan St. Louis berbuah manis. Tercatat jumlah kematian akibat flu hanya seperdelapan dibanding yang terjadi di Philadelphia.

Para peneliti menyimpulkan, andai saat itu St. Louis menunda upaya pencegahan selama satu atau dua minggu, mungkin nasibnya akan sama seperti Philadelphia.

Pada saat penelitian 2007 dirilis, Dr. Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases dan seorang penasihat utama dalam tanggapan AS terhadap Covid-19 menyatakan bahwa bukti pandemi 1918 jelas dapat diterapkan untuk virus corona.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/16/200200923/kenapa-berada-di-rumah-bisa-selamatkan-hidup-dari-pandemi-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke