Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

1.216 Orang Terjangkit, Ini Alasan Angka DBD di Sikka, NTT Tertinggi

Dalam artikel sebelumnya, Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan NTT Erlina R Salmun mengatakan, jumlah penderita DBD di provinsi itu mencapai 3.109 jiwa dengan tingkat kematian sebesar 1,19 persen.

Ribuan penderita itu tersebar di 21 kabupaten dan kota di NTT.

Direktur P2P Tular Vektor dan Zoonotik, dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengungkap, data hingga Rabu (11/3/2020), angka kasus DBD di Sikka mencapai jumlah 1.216 kasus, dengan kematian 14 orang.

Banyaknya kasus dan juga kematian akibat DBD di Sikka terjadi karena berbagai faktor risiko. Berikut beberapa di antaranya seperti disebutkan Nadia:

1. Akses air sulit dan banyak penampungan air

Dikatakan Nadia, Kabupaten Sikka menjadi salah satu wilayah yang akses airnya sulit karena kontur geografisnya.

Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang menampung air di rumahnya dalam banyak wadah seperti ember, baskom, dan lainnya.

Tempat penampungan air itu dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya memasak.

"Ini justru banyaknya (tempat penampungan air) menjadi tempat perindukkan (berkembangbiak) nyamuk," kata Nadia, di Gedung Kemenkes, Rabu (11/3/2020).

Selain tempat penampungan air, sumur yang tidak terawat di sekitar rumah juga dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak.

2. Minim pengolaan sampah

Di halaman luar rumah-rumah warga masih banyak ditemukan tumpukan botol bekas.

Tumpukan tersebut tidak ditimbun dengan tanah, sehingga pada botol ataupun kemasan air mineral yang memiliki celah untuk menampung air, ini juga berpotensi menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.

3. Salah kelola

Masyarakat Sikka memiliki lomba keindahan desa. Mereka menggunakan ban bekas untuk memagari rumah atau mengubah ban itu sebagai pot tanaman.

"Sebetulnya di Sikka itu ada lomba keindahan desa. Sayangnya ban itu pada saat ini (musim hujan) jadi tempat tergenang air dan tempat nyamuk," ujarnya.

Hanya saja, ban itu tidak sepenuhnya tertutupi dengan tanah sehingga masih ada cela air tergenang saat musim hujan.

Termasuk dengan sistem pipa yang keliru dari penanaman hidroponik yang dilakukan oleh masyarakat, malah jadi tempat air tergenang saat musim hujan.

"Maksudnya baik, buat hidroponik, tapi malah jadi tempat hidup nyamuk," tuturnya.

4. Terlambat ke rumah sakit

Presentasi angka kematian di Sikka dianggap mengkhawatirkan karena menjadi yang tertinggi di antara wilayah lainnya pada awal tahun 2020 ini.

Meskipun persiapan pelayanan di rumah sakit setempat baik, kata Nadia, masih banyak warga yang abai sakit saat sudah diberikan rujukan dari puskesmas agar segera ke rumah sakit.

Umumnya adalah alasan akses ke rumah sakit rujukan di Kota Maumere cukup jauh dari Sikka, tetapi jika dibiarkan dan terlambat, akhirnya pasien DBD akan sulit diselamatkan.

"Tidak semua puskesmas punya kemampuan sama pelayanannya. Ada pasien yang tidak mau dirujuk terutama pasien anak. Begitu dirawat dan harusnya dirujuk tapi tidak mau keluarganya, pas sudah kelewat sakitnya baru mau dirujuk," kata dia.

Dicontohkan Nadia, ada kejadian seorang anak yang lagi proses untuk dirujuk kembali ke rumah sakit, yang awalnya menolak rujuk, pasien itu terlambat dan meninggal baru masuk UGD rumah sakit.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/13/082300323/1.216-orang-terjangkit-ini-alasan-angka-dbd-di-sikka-ntt-tertinggi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke