Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Punya Rumah Layak Huni, Kini Bukan Lagi Mimpi

Kompas.com - 11/02/2022, 21:00 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi di Tanah Air, rumah memiliki fungsi yang lebih strategis, tak hanya sebagai tempat tinggal. Rumah kini telah menjadi pusat aktivitas keluarga.

Mulai dari tempat bekerja bagi orangtua, sekolah bagi anak-anak, tempat ibadah, bahkan tempat isolasi mandiri bagi mereka yang terpapar virus Corona, baik yang tanpa gejala maupun bergejala ringan.

Tak heran, bila kemudian upaya pencarian rumah tak pernah surut di tengah kondisi pandemi.

Riset Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru bertajuk Indeks Kebahagiaan 2021 menyebutkan, masyarakat yang tinggal di rumah milik sendiri memiliki tingkat kepuasan 74,01 poin, sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal di rumah dinas (79,95 poin).

Baca juga: BTN Siapkan KPR dengan Skema Pembayaran Suka-suka dan Sewa Beli

Pada tahun 2020, 99 Group dan Rumah123 melakukan riset terhadap minat masyarakat terhadap properti.

Dengan menjadikan “rumah dijual” sebagai variabel kata kunci, pencarian kata kunci ini secara daring meningkat 48 persen dibandingkan Mei 2019.

Selanjutnya, 99 Group kembali melakukan riset pada 2021. Hasilnya, terdapat 270 juta pencarian rumah, dengan generasi milenial dan generasi Z menjadi kelompok usia yang mendominasi pencarian sebanyak 48,1 persen.

Kemampuan terbatas

Persoalannya, tak semua yang mencari rumah memiliki kemampuan atau daya beli untuk memiliki hunian sendiri.

Sekalipun, rumah adalah salah satu kebutuhan primer, sama halnya dengan pangan, dan sandang.

Berdasarkan data BPS tahun 2020, mereka yang belum memiliki tempat tinggal milik sendiri diketahui tinggal di rumah kontrakan atau sewa (72,04 persen), dan rumah bebas sewa seperti rumah dinas, rumah orangtua maupun rumah kerabat (90,35 persen).

Baca juga: BTN Targetkan Pertumbuhan Kredit Tahun 2022 Mencapai 10 Persen

Belum adanya kemampuan untuk membeli rumah tidak terlepas dari gap antara kenaikan pendapatan dengan peningkatan harga rumah setiap tahunnya.

Merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021 yang diterbitkan BPS, mayoritas pekerja di Indonesia berstatus buruh, karyawan atau pegawai (37,5 persen).

Bila dikaitkan dengan riset yang diterbitkan Harian Kompas pada tahun 2021 yang mengambil sampel di Jakarta, misalnya, dengan gaji setara upah minimum provinsi (UMP) maka masyarakat akan kesulitan membeli rumah pada tahun-tahun yang akan datang.

Diketahui, UMP pekerja di Jakarta pada tahun lalu sebesar Rp 4,4 juta, sementara pada tahun ini sebesar Rp 4,6 juta setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk menaikkan UMP sebesar 5,1 persen.

Ilustrasi rumah.Dok. Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ilustrasi rumah.
Melihat besaran nilai UMP, dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan gaji sebesar itu hanya mampu membeli rumah dengan kisaran harga Rp 168 juta-200 juta.

Hal itu didasarkan pada kemampuan mereka dalam mencicil setiap bulannya, yakni sebesar 35 persen dari gaji atau setara Rp 1,5 juta.

Dengan tingkat suku bunga tetap 8 persen per tahun dan tenor 15 tahun, para pekerja yang kebanyakan bekerja di pusat kota itu hanya mampu menjangkau rumah kecil tipe 36 yang berada di kawasan penyangga Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Padahal, kenaikan harga rumah kecil diketahui jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga rumah besar.

Hal itu berdasarkan Indeks Harga Properti Residensial Bank Indonesia (IHPR BI) dalam 10 tahun terakhir, rumah kecil di kawasan Jabodebek-Banten rata-rata mengalami kenaikan 6,47 persen.

Sementara, kenaikan rumah sedang dengan tipe 36-tipe 70 meningkat 4,45 persen per tahun dan rumah besar lebih dari tipe 70 mengalami kenaikan 2,72 persen per tahun.

Adapun bila menggunakan data House Price Index (HPI) Bank BTN dalam tiga tahun terakhir, diketahui pertumbuhan harga rumah non-subsidi di kota penyangga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.

Laju HPI BTN di wilayah Bodebek sebesar 6,2 persen per tahun, sedangkan di Jakarta hanya 3,9 persen.

Tak sekadar punya tapi harus layak

Persoalan berikutnya yang dihadapi oleh para pencari rumah adalah mendapatkan rumah layak huni sekaligus terjangkau.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentnag Perumahan dan Kawasan Permukiman, rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan luas bangunan, serta kesehatan penghuni.

Baca juga: Perluas Ekosistem Perumahan, BTN Diminta Lakukan Langkah Ini

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com