Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Punya Rumah Layak Huni, Kini Bukan Lagi Mimpi

Mulai dari tempat bekerja bagi orangtua, sekolah bagi anak-anak, tempat ibadah, bahkan tempat isolasi mandiri bagi mereka yang terpapar virus Corona, baik yang tanpa gejala maupun bergejala ringan.

Tak heran, bila kemudian upaya pencarian rumah tak pernah surut di tengah kondisi pandemi.

Riset Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru bertajuk Indeks Kebahagiaan 2021 menyebutkan, masyarakat yang tinggal di rumah milik sendiri memiliki tingkat kepuasan 74,01 poin, sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal di rumah dinas (79,95 poin).

Pada tahun 2020, 99 Group dan Rumah123 melakukan riset terhadap minat masyarakat terhadap properti.

Dengan menjadikan “rumah dijual” sebagai variabel kata kunci, pencarian kata kunci ini secara daring meningkat 48 persen dibandingkan Mei 2019.

Selanjutnya, 99 Group kembali melakukan riset pada 2021. Hasilnya, terdapat 270 juta pencarian rumah, dengan generasi milenial dan generasi Z menjadi kelompok usia yang mendominasi pencarian sebanyak 48,1 persen.

Kemampuan terbatas

Persoalannya, tak semua yang mencari rumah memiliki kemampuan atau daya beli untuk memiliki hunian sendiri.

Sekalipun, rumah adalah salah satu kebutuhan primer, sama halnya dengan pangan, dan sandang.

Berdasarkan data BPS tahun 2020, mereka yang belum memiliki tempat tinggal milik sendiri diketahui tinggal di rumah kontrakan atau sewa (72,04 persen), dan rumah bebas sewa seperti rumah dinas, rumah orangtua maupun rumah kerabat (90,35 persen).

Belum adanya kemampuan untuk membeli rumah tidak terlepas dari gap antara kenaikan pendapatan dengan peningkatan harga rumah setiap tahunnya.

Merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021 yang diterbitkan BPS, mayoritas pekerja di Indonesia berstatus buruh, karyawan atau pegawai (37,5 persen).

Bila dikaitkan dengan riset yang diterbitkan Harian Kompas pada tahun 2021 yang mengambil sampel di Jakarta, misalnya, dengan gaji setara upah minimum provinsi (UMP) maka masyarakat akan kesulitan membeli rumah pada tahun-tahun yang akan datang.

Diketahui, UMP pekerja di Jakarta pada tahun lalu sebesar Rp 4,4 juta, sementara pada tahun ini sebesar Rp 4,6 juta setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk menaikkan UMP sebesar 5,1 persen.

Hal itu didasarkan pada kemampuan mereka dalam mencicil setiap bulannya, yakni sebesar 35 persen dari gaji atau setara Rp 1,5 juta.

Dengan tingkat suku bunga tetap 8 persen per tahun dan tenor 15 tahun, para pekerja yang kebanyakan bekerja di pusat kota itu hanya mampu menjangkau rumah kecil tipe 36 yang berada di kawasan penyangga Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Padahal, kenaikan harga rumah kecil diketahui jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga rumah besar.

Hal itu berdasarkan Indeks Harga Properti Residensial Bank Indonesia (IHPR BI) dalam 10 tahun terakhir, rumah kecil di kawasan Jabodebek-Banten rata-rata mengalami kenaikan 6,47 persen.

Sementara, kenaikan rumah sedang dengan tipe 36-tipe 70 meningkat 4,45 persen per tahun dan rumah besar lebih dari tipe 70 mengalami kenaikan 2,72 persen per tahun.

Adapun bila menggunakan data House Price Index (HPI) Bank BTN dalam tiga tahun terakhir, diketahui pertumbuhan harga rumah non-subsidi di kota penyangga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.

Laju HPI BTN di wilayah Bodebek sebesar 6,2 persen per tahun, sedangkan di Jakarta hanya 3,9 persen.

Tak sekadar punya tapi harus layak

Persoalan berikutnya yang dihadapi oleh para pencari rumah adalah mendapatkan rumah layak huni sekaligus terjangkau.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentnag Perumahan dan Kawasan Permukiman, rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan luas bangunan, serta kesehatan penghuni.

Selanjutnya, berdasarkan Kepmen Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan untuk melihat suatu rumah layak huni atau tidak.

Mulai dari kebutuhan minimal masa atau penampilan, ruang dalam dan luar atau kebutuhan luas, kebutuhan kesehatan dan kenyamanan, serta kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan.

Kenyataannya, selain mencari rumah layak huni bukanlah perkara mudah, tak sedikit pula masyarakat yang telah memiliki rumah namun tidak layak huni (RTLH).

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), jumlah RTLH di seluruh Indonesia mencapai 3,69 juta unit. Wilayah Pulau Jawa mendominasi jumlah tersebut (1,13 juta).

Setelah itu disusul oleh Sumatera (798.000), Bali dan Nusa Tenggara (708.000), Sulawesi (545.000), Kalimantan (346.000), Maluku (106.000), dan Papua (58.000).

Persoalan inilah yang kemudian harus segera diselesaikan. Tak hanya menghadirkan rumah dengan harga terjangkau, tetapi juga layak serta memiliki fasilitas memadai guna mendukung kebahagiaan masyarakat.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan 70 persen rumah tangga dapat menempati rumah dengan akses air minum dan 90 persen dengan akses sanitasi layak pada tahun 2024.

Insentif PPN

Pandemi sendiri diketahui telah memukul sendi ekonomi masyarakat. Tak hanya kemampuan masyarakat dalam membeli rumah, para pengembang pun terdampak pandemi ini.

Insentif ini diharapkan efektif meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung sektor perumahan dengan efek pengganda yang besar ke perekonomian nasional.

"Kami berupaya menjaga keberlanjutan momentum pemulihan di tahun 2022 agar semakin kuat, khususnya di Kuartal I dan II,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022).

Adapun besaran insentif yang diberikan pemerintah kali ini dikurangi secara terukur seiring dengan pemulihan kondisi sektor konstruksi dan real estat.

Untuk tahun ini, insentif PPN DTP yang diberikan sebesar 50 persen dari insentif PPN DTP 2021 yaitu 50 persen atas penjualan rumah paling tinggi Rp 2 miliar serta 25 persen atas penjualan rumah dengan rentang harga Rp 2 miliar-Rp 5 miliar.

“Kami berharap masyarakat memanfaatkan insentif ini agar membantu perekonomian Indonesia pulih lebih kuat pada 2022,” kata Febrio.

Pemberian insentif ini seyogyanya dapat dimanfaatkan, baik oleh masyarakat yang hendak mencari rumah, maupun perbankan yang hendak menyalurkan kredit perumahan.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, sebagai bank pelat merah yang fokus memberikan pelayanan dan mendukung pembiayaan sektor perumahan, dapat mengambil peran tersebut.

Terlebih, dalam Rapat Kerja 2022 lalu telah diberi amanat oleh Menteri BUMN Erick Thohir untuk menjadi solusi perumahan bagi masyarakat Indonesia.

Dalam sambutannya, Erick meminta BTN memperluas ekosistem perumahan dengan bersinergi dengan BUMN lain dan pihak swasta.

Sehingga, sektor perumahan yang memiliki industri turunan hingga lebih dari 140 jenis industri, dapat terkatrol.

Menurut Erick, BTN harus berani merajut saudara-saudara yang ada di BUMN dan juga pemain swasta ataupun industri yang melibatkan turunan ekosistem perumahan.

"Sebut saja industri semen, besi cat, furnitur. Ini luar biasa kalau kita bisa memberikan solusi seperti super apps, ada solusi, ini positif,” kata Erick dalam keterangan tertulis, 24 Januari lalu.

Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo menyatakan, perseroan siap memperluas ekosistem perumahan dengan bersinergi bersama BUMN dan pihak swasta lainnya.

“Saat ini kerja sama dengan BUMN dan swasta telah dilakukan oleh perseroan, namun BTN perlu memperluas sinergi tersebut untuk mendukung pemenuhan kebutuhan rumah rakyat dalam program satu juta rumah,” ucap Haru.

Dalam kesempatan sebelumnya, Haru mengungkapkan, BTN siap memenuhi permintaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan kapasitas penyaluran Kredit Pemilikan Rumah atau KPR Subsidi hingga 250.000 per tahun.

Diketahui, saat ini angka kebutuhan rumah atau backlog berdasarkan data Kementerian PUPR mencapai 11,38 juta unit.

Dari jumlah itu, 10,59 juta unit di antaranya merupakan backlog bagi MBR, masyarakat berpenghasilan sedikit di atas MBR, dan pekerja informal.

Haru mengatakan, sejak 10 Desember 1976 hingga September 2021, perseroan telah merealisasikan kredit untuk 4,9 juta unit di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 3,5 juta unit di antaranya merupakan KPR Subsidi.

Untuk mendorong pembiayaan rumah MBR pada tahun ini, BTN menyiapkan hampir 4.000 jaringan kantor dan 11.000 sumber daya manusia yang tersebar di seluruh Indonesia.

Perseroan juga memiliki ekosistem digital dalam penyaluran KPR yang memangkas proses kredit menjadi hanya 5 hari.

“Kami juga terus bersinergi untuk mendukung terciptanya ekosistem perumahan di Indonesia yang dapat mengakeselarasi pemenuhan kebutuhan hunian, terutama di masa pandemi ini,” ucap Haru dalam Focus Group Discussion Kelangsungan Hidup Rumah bagi MBR Tahun 2022 di Bandung, 25 November 2021.

Adapun pada tahun ini, BTN telah menyusun beberapa inisiatif, di antaranya transformasi kantor cabang agar lebih fokus ke sales and service dan ekspansi kredit yang mendukung ekosistem perumahan.

Selanjutnya, menyalurkan KPR ke generasi milenial dan pekerja informal sebagai bagian untuk mencapai target bisnis seperti pertumbuhan kredit agar dapat mencapai double digit, dan peningkatan dana pihak ketiga khususnya dana murah.

Sesuai kemampuan nasabah

Khusus untuk mendongkrak kepemilikan hunian generasi milenial, BTN menyiapkan layanan baru KPR yang disesuaikan dengan kemampuan calon pembeli.

Direktur Consumer & Commercial Banking BTN Hirwandi Gafar mengatakan, salah satu layanan KPR baru yang akan diluncurkan perseroan ialah kredit dengan besaran angsuran "suka-suka". Melalui layanan ini, besaran angsuran akan disesuaikan dengan besaran tabungan nasabah.

"Kami akan ada fitur yaitu pembayaran angsuran suka-suka, yang nanti dikaitkan dengan besaran tabungan milenial tersebut," kata Hirwandi saat Paparan Kinerja 2021, Selasa (8/2/2022).

Selain itu, BTN rencananya juga menyiapkan skema rent to own atau pembiayaan sewa beli. Melalui skema ini, calon pembeli dapat menyewa properti yang diincar terlebih dulu, sebelum memutuskan untuk membelinya.

"Anak muda sekarang senangnya enggak terikat di satu spot, jadi mungkin sewa dulu. Di tahun ke-5 sudah betah, cocok. Jadi kita buat program rent to own," kata Wakil Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu.

Perseroan kini tengah mendalami skema tersebut, termasuk skema pembelian hingga angsuran pembayaran kredit nantinya.

Selain untuk memfasilitasi kebutuhan kepemilikan hunian masyarakat, skema rent to own disiapkan BTN untuk mengatasi permasalahan kelebihan pasokan atau over supply hunian, khususnya unit apartemen.

Selain kedua fitur yang akan diluncurkan tersebut, BTN telah memiliki layanan KPR Graduated Payment Mortgage (GPM) untuk generasi muda.

Dengan demikian, besaran angsuran GPM akan lebih rendah dibanding angsuran KPR reguler pada awal masa kredit.

Setelah itu, pembayaran angsuran akan meningkat secara stabil sesuai dengan asumsi kenaikan penghasilan calon debitur setiap tahunnya.

Nixon menyadari, milenial memiliki pendapatan tidak langsung dengan jumlah tinggi, karena itu tidak langsung dikenakan bunga floating.

"Jadi kita gak langsung ke floating. Karena kalau langsung ke floating, kolektabilitasnya malah turun, memburuk. Sehingga kita jaga 5 tahun, fix and cap. Terus perlahan-lahan bertahap, sesuai dengan proyeksi income milenial yang kita hitung," ucap Nixon.

https://www.kompas.com/properti/read/2022/02/11/210000121/punya-rumah-layak-huni-kini-bukan-lagi-mimpi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke