ADA berita besar pada pengujung 2021. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menginisiasi medical tourism atau pariwisata medis di Indonesia.
Langkah yang patut diapresiasi secara positif, meski terlambat dibandingkan Kuba, India, Thailand dan Brasil yang sudah mulai lebih dari 25 tahun lalu.
Namun, paling tidak kita segera akan memiliki fasilitas kesehatan bertaraf global di Bali.
Medical Tourism berawal dari jatuhnya negara-negara sosialis yg memiliki infrastruktur kesehatan publik yang sangat baik selama perang dingin berlangsung.
Transformasi welfare state (sosialisme) menuju laissez-faire (neo-liberalisme), memberikan tantangan untuk memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) serta pelayanan kesehatan yang luar biasa baiknya di negara-negara post-sosialis, pasca-runtuhnya tembok Berlin.
Kuba sebuah contoh yang luar biasa hingga hari ini. Pelayanan kesehatan publik di negara ini hingga sekarang masih yang terbaik di dunia.
Jauh dibandingkan dengan pelayanan kesehatan publik di Amerika Serikat yang penuh dengan polemik politik nan-pelik, bahkan hingga detik ini.
Sudah menjadi rahasia publik bawah Fidel Castro banyak memberikan pengobatan gratis kepada warga Amerika yang tidak mampu untuk berobat ke Kuba.
Hanya, usaha Castro jarang dipublikasikan melalui media-media arus utama.
Singapura yang secara fundamental adalah negara ‘sosialis’ di Asia Tenggara, juga sudah terkenal sebagai medical hub buat negara sekelilingnya.
Padahal, jiran Indonesia ini tidak pernah bercita-cita membuat medical tourism!
Singapura menyediakan fasilitas kesehatan publik yang baik guna mendukung strategi industrialisasi “tukang jahit” pada tahun 1970-1980an.
Administrasi Lee Kuan Yew butuh rakyat yang sehat, sehingga produktivitas kerja mereka bisa terjaga.
Hal ini karena Singapura hanya punya SDM yang harus rajin bekerja agar bisa hidup sejahtera.
Jadi, pada awalnya, keberadaan fasilitas kesehatan publik yang baik bukan untuk medical tourism.