Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merdeka dari Ancaman Krisis Hunian

Tingkat kesenjangan pemilikan rumah (backlog) di Indonesia mencapai 12,71 juta rumah tangga.

Angka tersebut dihitung berdasarkan selisih antara jumlah kepala keluarga dengan jumlah rumah yang ada.

Jumlah tersebut belum termasuk pertumbuhan keluarga baru yang diperkirakan sekitar 700.000-800.000 per tahun.

Masalah backlog ini seringkali dikaitkan dengan gaya hidup generasi milenial yang konsumtif sehingga tak dapat membeli rumah.

Namun, masalah ini tak sesederhana demikian. Menurut Bappenas, laju kenaikan harga rumah di sejumlah daerah di Indonesia bergerak lebih cepat dibanding laju kenaikan pendapatan.

Rasio harga rumah terhadap pendapatan di kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung (12,1), Denpasar (11,9), dan Jakarta (10,3) bahkan melebihi New York (5,7), Singapura (4,8), dan Tokyo-Yokohama (4,8).

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dampak dari tidak sebandingnya kenaikan harga rumah dengan pendapatan ini akan dirasakan oleh generasi muda.

Sehingga kesadaran finansial generasi muda penting agar bisa menabung dana untuk membeli rumah. Namun, masalah kenaikan harga tanah juga perlu mendapatkan solusi terukur.

Saat ini pemerintah mencatat terdapat 81 juta generasi milenial yang belum mendapatkan fasilitas rumah.

Padahal, jumlah penduduk Indonesia pada usia tersebut mencapai 58 persen populasi. Untuk mengatasi problematika tersebut, Pemerintah Pusat telah menyiapkan sederet kebijakan untuk memberikan kemudahan pemilikan rumah.

Program-program tersebut antara lain Program Satu Juta Rumah, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Program Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) dan lainnya.

Namun, there is no single magic bullet for solving housing crisis (Philip Hammond, 2017). Sehingga, diperlukan tambahan kebijakan yang dapat menopang ketersediaan hunian yang lebih inklusif. Plus, mengontrol harga tanah.

Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat krusial.

Peran pemerintah daerah

Saat ini tanah masih sangat diminati sebagai salah satu aset investasi. Dengan nilainya yang terus meningkat, prospek tanah sebagai aset investasi sangat menggiurkan.

Hal ini lumrah terjadi juga di negara lain, namun juga menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Di balik tingginya harga tanah, terdapat jutaan generasi muda yang tak sanggup membelinya.

Oleh karena itu, terdapat beberapa kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah daerah untuk mengatasinya.

Pertama, untuk memaksimalkan penggunaan tanah di perkotaan, perlu pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lebih tinggi untuk tanah kosong yang tidak dimanfaatkan atau terlantar.

Pada Kongres Ekonomi Umat ke-2 MUI tahun 2021, Presiden Jokowi pernah menyampaikan banyaknya tanah terlantar di Indonesia berdampak pada sektor perekonomian.

Fenomena banyaknya tanah kosong sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang membutuhkan semakin banyak tempat tinggal.

Sehingga, penerapan tarif PBB yang lebih tinggi pada tanah kosong yang tidak dimanfaatkan dapat menjadi insentif bagi pemilik tanah untuk mengoptimalkan penggunaan tanahnya.

Penelitian Dana Moneter Internasional (IMF) juga menunjukkan kenaikan tarif pajak properti dapat menurunkan volatilitas harga properti.

Oleh karena itu, fungsi regulerend pajak sangat diperlukan untuk mengatur dan mengendalikan agar tanah tidak dikuasai oleh para pemilik modal. Kebijakan white land tax ini juga telah diterapkan oleh Saudi Arabia.

Selain itu, Pemda juga dapat mengenakan tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang lebih tinggi terhadap kepemilikan rumah kedua atau ketiga.

Kebijakan serupa diterapkan Singapura. Tarif kepemilikan rumah pertama di Singapura adalah 5 persen, tarif kepemilikan rumah kedua 30 persen, serta tarif kepemilikan rumah ketiga dan seterusnya 35 persen.

Selain mengenakan tarif yang lebih tinggi untuk kepemilikan rumah, Singapura juga mengenakan tarif pajak lebih tinggi untuk warga asing yang membeli properti di Singapura.

Tak tanggung-tanggung, warga asing yang ingin membeli rumah di Singapura harus membayar BPHTB sebesar 60 persen!

Kebijakan ini didasari peningkatan jumlah pembeli properti dari luar negeri pascacovid-19. Sehingga untuk menjaga agar harga tanah tidak melonjak, maka kenaikan tarif ini diberlakukan.

Beberapa alternatif kebijakan tersebut diharapkan dapat mengendalikan tingginya harga tanah dan membantu generasi muda dalam mendapatkan hunian.

Untuk itu, diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjaga agar harga tanah dapat terjangkau oleh generasi milenial.

Apalagi, berkembangnya sektor properti di Indonesia juga berdampak pada sektor usaha lain seperti perusahaan konstruksi, furnitur, elektronik dan lainnya.

Menurut data LPEM FEB UI, sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan berkontribusi sebesar Rp 2.865 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional atau setara 14,63 persen.

Sehingga upaya membangun ketersediaan hunian selaras dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.

Kita berharap dalam mencapai tujuan tersebut, generasi muda Indonesia berhasil merdeka dari ancaman krisis hunian.

https://www.kompas.com/properti/read/2023/08/31/080000721/merdeka-dari-ancaman-krisis-hunian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke