Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Asal Muasal Sengketa Lahan Hotel Sultan, Seteru Pemerintah Vs Pontjo Sutowo

Terbaru, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) mengajukan permohonan intervensi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Permohonan intervensi ini diajukan atas gugatan perkara nomor 71/G/2023/PTUN.JKT oleh PT Indobuildco terhadap pembatalan Hak Pengelolaan (HPL) 1/Gelora.

Ajuan permohonan intervensi telah dilaksanakan Kemensetneg dan PPK GBK pada 13 April 2023, yang bertujuan agar Pemerintah sebagai pemilik aset mendapatkan haknya.

Tujuan permohonan intervensi PPK GBK adalah agar Badan Layanan Umum (BLU) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset tersebut bisa mempertahankan haknya.

Hal ini disampaikan oleh Kuasa Hukum PPK GBK dari Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Chandra Hamzah dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/5/2023).

Kemudian, intervensi Kemensetneg dan PPK GBK diwakili oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Lalu, PPK GBK selaku BLU dari Kemensetneg juga menunjuk AHP untuk mengajukan permohonan intervensi.

"Alhamdulillah, pengadilan mengabulkan permohonan kami pada tanggal 8 Mei (2023). Ini permohonan ini kita ajukan 13 April, 8 Mei menyatakan bahwa Kemensetneg dengan kuasa Jamdatun ini diterima sebagai pihak yang mempertahankan haknya, begitu juga PPK GBK," tambah dia.

Setelah diterima, Kemensetneg dan PPK GBK mengajukan eksepsi dan jawaban pada Senin (22/5/2023).

"Kami jelaskan semua sejarahnya, detailnya, riwayat kawasan Senayan, bagaimana sejarahnya, siapa yang membebaskan, siapa yang punya hak, kenapa pada suatu saat ada Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Indobuildco yang kemudian memiliki hotel, yang sekarang bernama Hotel Sultan," tutur Chandra.

Permohonan intervensi yang dilakukan Kemensetneg dan PPK GBK kepada PTUN Jakarta terkait gugatan yang dilakukan Indobuildco pada 27 Februari 2023 terbitnya Surat Keputusan (SK) HPL nomor 1/Gelora atas nama Kemensetneg cq PPK GBK.

Akan tetapi, kata Chandra, Indobuildco tidak menggugat Kemensetneg sebagai pemilik aset dan PPK GBK sebagai pengelola aset tidak digugat.

"Oleh karena itu, sebagai pihak pemilik aset dan tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN), Kemensetneg mengajukan permohonan intervensi kepada PTUN supaya pemilik aset dapat mempertahankan haknya," katanya.

Lantas, bagaimana Indobuildco bisa mendirikan Hotel Sultan di kawasan GBK?

Hal ini bermula dari tahun 1958 ketika Indonesia ditetapkan sebagai penyelenggara Asian Games yang pelaksanaannya digelar pada 1962.

Untuk itu, pemerintah pada masa itu menyiapkan sarana dan prasarana, tak terkecuali membangun Stadion GBK, Istora Senayan, dan lain sebagainya.

Penyiapan sarana prasarana Asian Games dimulai dengan pembentukan Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) yang bertugas dalam pembebasan lahan dari tahun 1959 sampai 1962.

Setelah penyelenggaraan Asian Games selesai, pada 1964 KUPAG kemudian menyerahterimakan seluruh tanah, bangunan, dan sarana prasarana eks Asian Games kepada Yayasan Gelanggang Olahraga Bung Karno.

Chandra menegaskan, pembebasan lahan seluas lebih dari 2,5 juta meter persegi tersebut dilakukan dan dibayarkan oleh KUPAG atau negara.

"Setelah dibangun, dibebaskan, diserahkan kepada Yayasan Gelora Bung Karno, itu yang dikelola sampai sekarang. Itu sejarahnya. Hotel Sultan berdiri itu dibebaskan oleh KUPAG, bukan orang lain," tegas Chandra.

Lalu, mengapa muncul HGB nomor 26 dan 27?

Chandra bercerita, pada tahun 1971, ada beberapa hotel yang dibangun di Jakarta secara bersamaan.

Kemudian, Indobuildco mengajukan permohonan untuk membangun hotel kepada Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, pada 7 Januari 1971.

Ali pun menyetujui permohonan pembangunan hotel tersebut pada 12 Januari 1971. Namun, dengan syarat kewajiban royalti.

"Kalau kita lihat bayar royalti, artinya Indobuildco beli atas tanah? Tidak. Karena, dia bisa bayar royalti," ujarnya.

Lalu, 15 April 1971, Indobuilco memohon menggunakan tanah dan bangunan membangun hotel kepada Ali.

Dua tahun kemudian atau Maret 1973, HGB nomor 26 dan 27 atas Indobuildco pun akhirnya terbit.

"HGB Indobuildco terbit di atas tanah yang dibebaskan Pemerintah, bukan dibebaskan oleh Indobuildco," tegas Chandra.

Chandra menuturkan, HGB itu pun berakhir pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023 setelah 50 tahun kemudian di atas tanah yang telah dibebaskan oleh KUPAG.

Lantas, bagaimana dengan terbitnya HPL nomor 1/Gelora?

Pada 31 Oktober 1970, GBK mengajukan permohonan sertifikasi tanah eks-Asian Games pada tahun 1962.

Tujuh tahun setelahnya atau tepatnya 24 Desember 1977, GBK kembali mengajukan permohonan sertifikasi tanah eks Asian Games 1962.

"Mungkin banyak kendala yang waktu itu belum selesai, pembayaran, pengeluaran, dan segala macam. Dua kali mengajukan, dan kemudian baru tahun 1989 sertifikat HPL (1/Gelora) terbit," katanya.

HPL ini diberikan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Kementerian/Lembaga (K/L) atau institusi negara sebagai perwujudan penguasaan negara terhadap seluruh tanah di Indonesia.

Akan tetapi, di atas HPL bisa terbit HGB maupun Hak Pakai (HP) dan lain-lain. Kata Chandra, HPL adalah kewenangan negara berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Dalam Diktum Keenam Surat Keputusan (SK) Nomor 169 yang merupakan dasar penerbitan sertifikat HPL 1/Gelora, disebutkan bahwa tanah-tanah HGB dan HP yang haknya belum berakhir sebagaimana diuraikan dalam HPL pada saat berakhirnya HGB dan HP tersebut.

"HGB 26/27 berdirinya Hotel Sultan haknya belum berakhir dan kemudian menjadi bagian dari HPL pada saat nanti berkahir. HGB-nya berkahir kapan? April dan Maret tahun 2023, begitu berakhir ini menjadi HPL-nya Kemensetneg cq PPK GBK," Chandra menjabarkan.

Perebutan lahan Hotel Sultan muncul pada tahun 2006 ketika Indobuildco menggugat HPL 1/Gelora atas nama Kemensetneg dalam perkara perdata.

Dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MK), Indobuildco mengajukan Peninjauan Kembali (PK) hingga empat kali.

Lalu, dari PK tersebut kemudian keluar keputusan pada tahun 23 Desember 2011 SK HPL 1/Gelora dinyatakan sah oleh pengadilan dan Indobuildco dihukum untuk membayar royalti.

Keputusan ini pun telah dieksekusi dan Indobuildco sudah membayar royalti atas putusan tersebut.

"Siapa yang tanda tangan berita eksekusi ini? Yang tanda tangan adalah Direktur Utama PPK GBK waktu itu Winarto dan pihak kedua Direktur Utama Indobuildco (Pontjo Sutowo)," lanjutnya.

Sehingga, pada 8 Desember 2016, Indobuildco melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela dan mengakui HPL 1/Gelora berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan putusan PK.

"Makanya, jadi pertanyaan mengapa digugat lagi HPL nomor 1? Dulu pernah digugat PN, banding, kasasi, PK 4 kali, sah, dan dilaksanakan kesepakatan bersama, sukarela, bayar royalti pula, sudah dibayarnya. Uangnya sudah masuk. Nah, sekarang pertanyaannya kenapa digugat lagi?," tutup Chandra.

https://www.kompas.com/properti/read/2023/05/27/100000621/asal-muasal-sengketa-lahan-hotel-sultan-seteru-pemerintah-vs-pontjo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke