Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Identifikasi Wilayah Gempa dan Sebaran 1.467 Gedung Tinggi di Jakarta

Sebagai negara kepulauan yang bersandar pada tiga lempeng samudera, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, Indonesia menjadi wilayah yang rentan dengan pergerakan dari triple junction tersebut.

Gerakan lempeng dapat terindikasi sebagai subduksi, yaitu gerakan yang terjadi karena pertemuan antara dua lempeng yang umumnya saling bertumbukan.

Ataupun teridentifikasi sebagai patahan/sesar aktif, yaitu potongan lempeng yang masih berpotensi bergerak, baik bergerak naik, turun ataupun mendatar. Gerakan subduksi atau sesar aktif ini kita rasakan sebagai gempa bumi.

A. Potensi gempa di Jakarta dan sekitarnya

Sejatinya, wilayah potongan atau pertemuan lempeng samudera yang ada di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian wilayah cincin api global, dikenal dengan jalur ring of fire atau alur seismik aktif, dan kerap disebut sebagai jalur megathrust, yang sebagian tersebar di bagian Selatan Pulau Jawa.

Sementara itu, Jakarta yang berlokasi di bagian Utara Pulau Jawa umumnya memiliki sumber gempa terdekat dari posisi beberapa sesar.

Namun, tidak tertutup dari subduksi lempeng Indo-Australia, selain itu megathrust juga menjadi ancaman bagi Jakarta.

Menurut pakar BMKG, jika megathrust di Pantai Selatan Jawa terjadi maka getaran gempa di Jakarta bisa mencapai VII skala Modified Mercalli Intensity (MMI).

Skala VII pada ukuran MMI umumnya dapat dicerminkan dengan kondisi tiap orang akan keluar rumah karena merasakan guncangan gempa.

Terjadi kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan yang konstruksinya baik, sedangkan pada bangunan dengan konstruksi kurang baik akan terjadi retak-retak bahkan hancur. Pada skala gempa ini, orang yang sedang naik kendaraan juga dapat merasakannya.

Skala MMI adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi, dengan diantaranya merujuk pada tingkat kerusakan akibat gempa bumi.

B. Bangunan tinggi tahan gempa di Jakarta

Setidaknya, tiga hal yang menjadi faktor dari karakter gempa yang menyebabkan bangunan hancur, yaitu frekuensi dan amplitudo, kecepatan gelombang gempa, dan resonansi.

Dari unsur karakter bangunan juga dapat menentukan tingkat kerusakan, yaitu dilihat dari ukuran/luas bangunan, sistem struktur bangunan dan material bangunan yang digunakan.

Beberapa sistem konstruksi atau struktur gempa yang berkembang saat ini disinyalir mampu menahan guncangan dan kerusakan dalam peristiwa gempa, sebut saja oil damper, ball of steel, batang karbon fiber fleksibel, osilasi seismic, struktur kolom segitiga, hybrid mass damper, dan sebagainya.

Misalnya saja teknologi peredam gempa oil damper yang umum diterapkan pada bangunan tinggi di Jepang.

Sistem ini umumnya diperkuat dengan pelat baja di setiap lantai, dengan peredam getaran yang berisi cairan peredam.

Ketika bangunan mulai bergetar, peredam akan menyeimbangkan posisi bangunan, minyak peredam akan tergelincir ke arah berlawanan dari arah getaran gempa sehingga meminimalkan guncangan pada bangunan.

Di Jakarta, kebijakan tentang Bangunan Gedung yang dirilis oleh Pemerintah Daerah adalah Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 tahun 2010 yang menyebutkan urgensi bangunan tahan gempa.

Selain itu, melalui SNI 1726:2019 tentang Bangunan Tahan Gempa telah menjelaskan detail struktur bangunan yang perlu diterapkan untuk meminimalkan potensi risiko bencana, diharapkan kebijakan-kebijakan ini menjadi salah satu jawaban untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman risiko gempa bumi.

Contohnya, salah satu gedung tinggi yang berada di koridor Rasuna Said tergolong gedung baru yang beroperasi  sejak tahun 2016, gedung ini masuk peringkat 93 sebagai gedung tertinggi di Asia.

Selain berlabel hijau atau green building, gedung ini didesain dengan perencanaan tahan gempa hingga Magnitudo 8. Gedung ini memiliki struktur yang lebar sesuai dengan SNI beton dan kolom, dan menggunakan material yang ringan.

Lalu bagaimana kesiapan entitas gedung tinggi Jakarta memitigasi kondisi gempa?

C. Wilayah potensi risiko gempa Jakarta

Menurut Peta dalam Buku Indeks Risiko Bencana yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021, disebutkan bahwa Jakarta memiliki indeks risiko sebesar 60,43 (sedang), dengan ancaman bencana gempa, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, dan gelombang ekstrim/abrasi.

Angka risiko bencana diperhitungkan berdasarkan angka kejadian bencana (hazard), kapasitas mengantisipasi dan menanggulangi (capacity) dan kerentanan atau exposure fisik maupun sosial (vulnerability).

Angka indeks risiko bencana di Jakarta terlihat membaik dari tahun sebelumnya, hal ini diantaranya karena kecenderungan kapasitas yang meningkat, terutama terkait kesiapan menghadapi potensi risiko bencana.

Sementara itu, menurut Peta Zona Sumber Gempabumi di Indonesia (Kertapati dan Mawardi, 2000 dalam Kertapati, 2006) yang membagi zona gempa menjadi tiga, yaitu zona sumber gempa bumi pergeseran lempeng, zona sumber gempa bumi patahan aktif, dan zona sumber gempa bumi tersebar.

Masih dari sumber yang sama disebutkan bahwa, menurut identifikasi para ahli terkait sesar aktif yang terdapat di Pulau Jawa, sebagai berikut antara lain Sesar Banten, Baribis, Cimandiri, Lembang, Garut, Kuningan, Bandung, Bantarkawung, Temanggung, Lasem, Malang, Bagian Selatan Kota Semarang, dan Sesar Opak.

Sejalan dengan itu, Pusat Survey Geologi (2008) menyebutkan bahwa Jakarta dan wilayah sekitarnya (Banten dan Jawa Barat) setidaknya berada pada jalur patahan atau sesar aktif Cimandiri, Baribis dan Lembang. Ketiga jalur ini terdeteksi berada di daratan Pulau Jawa.

Sesar adalah patahan atau bidang rekahan dari suatu lempeng yang umumnya masih terjadi pergeseran relatif. Sementara itu, sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 10.000 tahun yang lalu hingga sekarang.

Menurut peta kebencanaan dari portal Kementerian ESDM (Badan Geologi, Pusat Air Tanah, dan Geologi Tata Lingkungan) didapatkan informasi, bahwa wilayah Jakarta terbagi menjadi dua zona kawasan rawan bencana gempabumi, yaitu zona rawan bencana gempabumi menengah/sedang di bagian Utara dan Selatan Jakarta (zona kuning).

Selain itu, bagian Tengah wilayah Jakarta merupakan zona rawan bencana gempabumi rendah (zona hijau).

Peta tersebut didapatkan dari hasil proses tumpang susun peta, antara peta sejarah intensitas gempabumi dengan peta percepatan tanah atau peak ground acceleration (tingkat potensi bahaya gempa sesuai dengan kondisi geologi wilayah).

D. Sejumlah bangunan tinggi di wilayah rawan gempa Jakarta

Saat ini setidaknya terdapat 1.467 gedung tinggi di Jakarta, dengan ragam fungsi seperti hunian vertikal, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan hotel.

Tentu saja, karakter dan potensi gempa Jakarta perlu dikenali, agar populasi gedung tinggi mampu memitigasi secara struktural dan non-struktural potensi risiko dari bencana gempa.

Gempa bumi destruktif umumnya terjadi diikuti dengan kerusakan bangunan, terutama pada gempa dengan skala yang tinggi dan minimnya kesiapsiagaan dari infrastruktur wilayah.

Mengingat Jakarta memiliki ribuan properti yang terkemas dalam satuan gedung tinggi, maka untuk melihat bagaimana sebarannya di tengah zona rawan bencana gempa bumi, penulis melakukan analisis overlay peta (tumpang susun).

Analisis ini dilakukan dengan menghubungkan antara Peta Kawasan Rawan Gempabumi (Kementerian ESDM, 2022) dan Sebaran Properti di Jakarta (KFMap, 2022), sehingga didapatkan gambaran sebagai berikut.

Pada zona kuning, menurut sumber peta rawan bencana gempa bumi Kementerian ESDM, memiliki potensi goncangan gempa bumi dengan skala intensitas antara VII-VIII MMI.

Skala VII-VIII MMI, memiliki indikasi guncangan seperti dapat dirasakan sopir yang mengemudikan mobil. Orang yang sedang berjalan kaki sulit berjalan dengan baik, cerobong asap yang lemah pecah.

Langit-langit dan bagian konstruksi pada tempat yang tinggi rusak. Barang pecah-belah pecah. Tembok yang tidak kuat pecah, plester tembok dan batu-batu tembok yang tidak terikat kuat jatuh.

Sementara itu di zona rendah atau kawasan rawan bencana gempa bumi rendah (zona berwarna hijau) yang terletak di bagian Tengah, setidaknya saat ini terdapat 660 gedung tinggi dengan ragam fungsinya.

Sedikit pergeseran dan lekukan-lekukan pada timbunan pasir dan batu kerikil. Air menjadi keruh, lonceng-lonceng berbunyi, selokan irigasi rusak.

Pada zona hijau, para ahli memprediksi potensi guncangan berada pada skala V-VI MMI, artinya jika terjadi guncangan maka dapat dirasakan di luar rumah.

Orang-orang tidur terbangun, cairan tampak bergerak- gerak dan tumpah sedikit. Barang perhiasan rumah yang kecil dan tak stabil bergerak atau jatuh. Pintu membuka dan menutup, pigura di dinding bergerak, bandul lonceng berhenti atau mati atau tidak cocok jalannya.

Terasa oleh semua orang. Banyak orang yang lari keluar karena terkejut. Orang yang sedang berjalan kaki terganggu.

Jendela berderit, gerabah, barang pecah-belah pecah, barang-barang kecil dan buku terjatuh dari raknya, Gambar-gambar jatuh dari dinding.

Mebel-mebel bergerak atau berputar. Plester dinding yang lemah pecah-pecah. Lonceng gereja berbunyi, pohon-pohon terlihat bergoyang.

Secara umum, berdasarkan pengolahan data sementara, jumlah populasi gedung tinggi yang berada di zona rawan risiko gempabumi sedang/menengah di Jakarta terhitung lebih banyak, jika dibandingkan yang berada pada zona rendah.

Untuk itu, upaya memitigasi dampak risiko perlu mengarah pada potensi destruksi yang akan terjadi pada zona rawan tersebut.

E. Bagaimana rekam jejak pergerakan sesar Baribis, Cimandiri dan Lembang?

Seperti yang disebutkan dalam publikasi Peta Gempa Nasional yang dirilis oleh Kementerian PUPR (2017), bahwa Jakarta dan wilayah sekitarnya (Banten dan Jawa Barat) berada pada jalur patahan atau sesar aktif Cimandiri, Baribis dan Lembang.

Terkait sesar Pulau Jawa, publikasi yang dirilis oleh Kementerian PUPR (2017) memuat hasil deteksi dari Marliyani, dkk (2016), Sawitri (2016), Daryono (2016), dan Abidin , dkk (2008, 2009) mendapatkan beberapa informasi berikut terkait pergeseran sesar,

Sesar Cimandiri yang dideteksi memiliki laju geser berkisar 0,4-1 mm/tahun, dengan zona aktif dari segmen ini berada pada segmen Loji, Cidadap, Nyalindung, Cibeber, Saguling dan Padalarang.

Sesar Baribis, teridentifikasi sebagai sesar naik yang terletak dari Majalengka sampai Subang, seismik kegempaan juga sering terjadi di daerah ini. Laju geser dari sesar aktif ini mulai dari 2,3-5,6 mm/tahun, yang terdiri dari segmen Tampomas, Subang, Cirebon, Brebes, dan Ciremai.

Sesar Lembang, merupakan terusan dari ujung Utara sesar Cimandiri, dengan laju geser berkisar 3-14 mm/th, dengan zona terbagi menjadi 6 bagian yaitu Cimeta, Cipogor, Cihideung, Gunung Batu, Cikapundung, dan Batu Lonceng.

F. Bagaimana mitigasi seharusnya?

Mitigasi adalah upaya mengurangi risiko bahaya yang akan terjadi di kemudian hari, dalam hal ini bahaya yang timbul dari kejadian gempa. Mitigasi dapat bersifat struktural (fisik), maupun non-struktural (edukasi).

Mitigasi dapat dimulai sejak perencanaan pembangunan gedung melalui identifikasi wilayah rawan bencana yang umumnya tercermin dalam Zoning Regulation, sehingga pemanfaatan ruang sesuai dengan fisiografi wilayahnya.

Selain itu, teknologi yang diterapkan untuk rencana struktur bangunan perlu disesuaikan dengan karakter fisik wilayah di sekitar bangunan, untuk wilayah rawan gempa dapat menerapkan berbagai teknologi struktur bangunan yang sesuai dengan karakter gempa atau potensi kerusakan dari bencana.

Community Awareness, menjadi hal yang sangat penting, unsur ini menjadi variabel kapasitas dari masyarakat, mulai dari mampu mengakses informasi gempa, dan mengetahui kondisi rawan bencana pada wilayahnya.

Kemudian mengetahui apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa, dan mengetahui cara mendapatkan informasi aktual, antisipatif dan penyelamatan saat terjadi gempa.

Masih menurut publikasi Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia (Kementerian PUPR, 2017), disebutkan bahwa dalam jangka menengah, di wilayah Jakarta perlu dilakukan time lapse seismological investigation, atau investigasi gempa berkala, khususnya pada wilayah rawan gempa yang diikuti dengan adanya laju subsidence yang dinamis di cekungan Jakarta.

Selain mitigasi struktural, mitigasi non-struktural sangat dibutuhkan untuk membangunan kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat mengenali kerentanan wilayahnya terhadap bencana, sehingga mampu dan sadar akan kebutuhan siap siaga bencana.

https://www.kompas.com/properti/read/2022/12/12/100000721/identifikasi-wilayah-gempa-dan-sebaran-1467-gedung-tinggi-di-jakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke