Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kopi, Wilayah, dan Keberlanjutan

Minggu lalu bersama misi West Java Coffee di World of Coffee Milan, Italia, saya menikmati belajar tren dunia kopi. Menarik lagi untuk mengerti lebih jauh fenomena kopi ini.

Kopi ternyata lebih dari sekadar buah cherry-nya, bijinya atau sebagai makanan luwak. Turunan seduhan biji ini, menyeruak ke berbagai aspek budaya hidup manusia dan rantai pasoknya.

Kopi adalah transformasi budaya, dengan rentang ekonomi hulu ke hilir begitu besar.

Pada kopi kita bicara perkebunan, proses tanam, isu keberlanjutan, perdagangan, politik lahan hutan.

Belum lagi soal perkembangan teknologi mesin roasting, bahan alternatif susu, dan teknik pemurnian air.

Di hilirnya tentu ada industri desain, kemasan, strategi pemasaran, produk inti, kafe gaya hidup, dan seterusnya.

Di Indonesia, kopi juga ditengarai menyimpan potensi masalah hulu perhutanan, ketika beragam program atas nama pengentasan kemiskinan masyarakat hutan harus bertabrakan dengan kenyataan tantangan menjaga kelestarian hutan.

Ketika saya berjalan di gunung-gunung, mulai banyak terlihat hutan yang terambah sampai ke pelosok.

Pendek kata, kopi bukan seaedar isu biji-bijian. Banyak harapan digantungkan pada biji ini.

Masyarakat tani pun berubah dengan menggeliatnya kopi, yang sempat "menghilang" dari Jawa Barat selama puluhan tahun.

Padahal, Jawa Barat adalah representasi dari sejarah panjang kopi Indonesia dan perkembangan secara teritorial.

Kopi arabika di bawa ke Jawa tahun 1696. Kemudian dicoba ditanam di Kedawoeng dekat Batavia namun gagal. Baru berhasil 1699 di Sukabumi dan Sudimara.

Selanjutnya, pada 1706 kopi arabica jawa dianggap kopi berkualitas oleh Amsterdam Botanical Garden.

Mulai 1707 kopi dibudidayakan, dan tercatat pertama kali kopi dari Cianjur tahun 1711 sebayak 400 kilogram mendapat harga teetinggi di lelang Amsterdam.

Diperkirakan pada 1730-an, ada sejuta lebih pohon kopi di Cianjur. Tahun 1875 terjadi kehancuran akibat hama. Tahun 1900 mulai ditanam spesies robusta dari Kongo.

Jawa Barat kehilangan sebagian besar kebun kopinya. Baru awal 2000-an pertanian kopi Jabar menggeliat, walau awalnya hanya untuk mengisi kekurangan suplai ekspor kopi Sumatera.

Kopi adalah komoditas yang dapat kita pakai sebagai alat ukur pengembangan wilayah. Karena sifat ekonomi, sosial, budaya dan kemasyarakatan nya.

Bagi petani, agar maju maka dibutuhkan peningkatan kemampuan bisnis maupun teknis.

Politik ekonomi komoditas harus bisa memberdayakan petani, dan pemerintah harus membantu dalam peningkatan skala produksi, agar suplai mencukupi permintaan dunia.

Para agregator harus bisa lebih berdaya dalam memastikan pasokan. Sedangkan ke hilir, pengembangan ritel, branding, dan kemasan yang super kreatif di sisi customer, menjadi utama.

Kebijakan Pengembangan Wilayah Menjadi Penting

Seperti teh, anggur, kopi adalah teroir, bergantung kepada tanah dan rupa bumi tempat tumbuh nya.

Masalahnya hari ini, ternyata tidak bisa dihitung berapa total perhutanan sosial dan hasil kopi rakyat.

Di Jawa Barat, budidaya kopi masayarakat dengan luas rata-rata hanya satu sampai dua hektar per petani, tumbuh di 10 gunung di ketinggian mulai 400 sampai 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Arabica tumbuh di Gunung Masigit, Kabupaten Bandung (ketinggian 1.400 mdpl); Gunung Cikuray, Kabupaten Garut (1.300 mdpl); Gunung Gede, Kabupaten Cianjur (1.400 mdpl); Gunung Patuha, Kabupaten Bandung (1.200 mdpl); Gunung Cilutung, Kabupaten Bandung (1.400 mdpl); dan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat (1.000 mdpl)

Sementara Robusta dihasilkan di Gunung Gajah, Kabupaten Sumedang (800 mdpl); Gunung Cakrabuana, Kabupaten Majalengka (1.200 mdpl) dan di Gunung Sulah, Kab Purwakarta (400 mdpl). Serta ada varietas Liberica, yang dihasilkan di Gunung Burangrang Liberica (700 mdpl).

Dengan meningkatnya bisnis komoditas kopi dunia, maka perkebunan di Jawa Barat pun menggeliat, dengan semakin ekstensif guna lahan untuk komoditas ini.

Bagi Jawa Barat inilah momentum untuk dapat memastikan keseimbangan fungsi ekonomi kopi dengan keberlanjutan hutan melalui kebijakan kewilayahan yang tepat guna.

Pada era urbanisasi tinggi sekarang ini, kita mahfum bahwa kelestarian gunung dan hutan adalah pencegah bencana.

Pemerintah provinsi dan tingkat kabupaten serta politisinya harus mulai memberikan perhatian agar politik kebun masyarakat dapat mencapai tujuan idealnya, bukan sebaliknya.

Dari deliniasi wilayah ketinggian tertentu, harus diteruskan keberlanjutan dan politik perkebunan masyarakatnya. Teknologi pemetaan dan penginderaan harus dimanfaatkan secara optimal.

Maka reformasi agraria pun melalui pemberdayaan lahan hutan untuk masyarakat harus mampu benar-benar memakmurkan dan menghindarkan terjadinya konflik di level petani agar lahan dan lingkungan terus terjaga.

Jawa Barat dan provinsi lainnya dapat segera mengeluarkan kebijakan khusus berkaitan demgan pemanfaatan ruang hutan di ketinggian 400-1.700.mdpl untuk pemanfaatan budidaya komoditas ini.

Kopi harus dikelola beyond branding wilayah. Dalam ilmu pengembangan wilayah, kebijakan ini tentu harus dapat diukur dari hasil, pertumbuhan, dan trickle-down effect-nya.

https://www.kompas.com/properti/read/2022/07/01/130000821/kopi-wilayah-dan-keberlanjutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke